Home » » AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945

AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945

Written By Unknown on Kamis, 31 Oktober 2013 | 10.02




A. Latar Belakang
Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi causa prima penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial-politik, bobroknya managemen negara yang mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum akibat telah dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian  bergantung pada penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD yang all size itu akan berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.
Keberadaan UUD 1945 yang  selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan  berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju kearah  sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang.  Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini  menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik dan terpenting dari proses perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan dapat terlihat apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga masyarakat, dan apakah telah menentukan bagi  pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan. Dengan  melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah mencerminkan kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi menjadi monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.

B. Pembatasan Masalah
Dalam sistem kenegaraan, masalah perundang – undangan merupakan hal yang sangat penting bagi jalannya sistem pemerintahan suatu negara, disebabkan berjalannya sistem pemerintahan tidak lepas dari rujukan yang mesti dilaksanakan dalam perundang – undangan negara. Masalah kontroversi perubahan UUD 1945 yang masih menjadi perbincangan, merupakan bahan yang kami bahas dalam makalah ini

C. Identifikasi Masalah
Dalam prosesnya, amandemen UUD 1945 menimbulkan perdebatan, penyusun mengidentifikasi beberapa masalah pokok sebagai berikut :
1.      Sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia sejak awal terbentuknya UUD 1945 sampai saat kini.
2.      Permasalahan yang kencenderungan terjadi perdebatan sehingga timbulnya pra-kontra terhadap perumusan amandemen UUD 1945.
3.      Beberapa pendapat terhadap amandemen UUD 1945.

D. Manfaat
Sedangkan manfaat yang diharapkan dapat diperoleh adalah sebagai berikut
1. Meningkatkan pengetahuan tentang negara dan konstitusi negara Republik Indonesia
2. Lebih mengenal kembali Undang-undang dasar negara Republik Indonesia
3. Mengikuti proses perkembangan perundangan Republik Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Ketatanegeraan
Saat founding fathers menerima diberlakukannya UUD 1945 yang dicetuskan Prof Soepomo pada sidang PPKI 18 Agustus 1945 telah menyadari, UUD 1945 hanya bersifat sementara atau istilah Bung Karno “undang-undang dasar kilat”. Mereka semua committed jika kelak keadaan mengizinkan, bangsa Indonesia akan melaksanakan pemilu untuk membuat UUD baru yang definit berasas kedaulatan rakyat.
Sejarah ketatanegaraan kita yang menggunakan konstitusi UUD 1945 sebagai landasan struktural telah menghasilkan berbagai sistem pemerintahan yang berbeda-beda, bahkan pernah bertolak belakang secara konseptual.
Dalam periode revolusi, hanya di masa kabinet Soekarno-Hatta yang pertama (Agustus 1945-sampai keluar Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945), berarti hanya dua bulan kita menerapkan UUD 1945 yang “asli” yang kekuasaan sepenuhnya di tangan Presiden. Maklumat Wakil Presiden No X mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan dari Presidensial ke Parlementer, meski tetap menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi.
Pada 1949 bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945 dengan Konstitusi RIS dan tahun 1950 lagi-lagi diganti dengan UUD Sementara 1950, tetapi tetap menganut paham demokrasi konstitusional meski dengan sistem berlainan. Baru tahun 1955 pertama kali diselenggarakan pemilu dan dibentuk Majelis Konstituante untuk membuat UUD baru yang definitif.
Sebelum tugasnya selesai, Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Bukan disebabkan Konstituante tak berhasil atau mengalami deadlock dalam menyusun UUD baru sebagaimana diajarkan dalam semua buku pelajaran sejarah versi pemerintah, tetapi karena ada kepentingan politik dari kalangan militer dan pendukung Soekarno.
Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, timbul kembali pemerintahan otoriter di bawah panji Demokrasi Terpimpin Soekarno dilanjutkan rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi Pancasila.
Dalam masa pemerintahan transisi, baik di zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati sebelum Pemilu 2004, kita menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945 mengatur penyelenggaraan kekuasaan negara karena sifatnya yang multi-interpretasi. Pemegang kekuasaan negara bisa melakukan berbagai distorsi dan devisiasi nilai-nilai demokrasi dan sistem pemerintahan.
kondisi dewasa ini dikhawatirkan kita menghadapi bahaya pengulangan sejarah, adanya sisa-sisa kalangan militer dan pendukung Soekarno yang menghendaki kembalinya “Demokrasi Terpimpin”. Dulu mereka berhasil menjegal Majelis Konstituante dengan memakai “pedang” Dekrit 5 Juli 1959. Atau pendukung Soeharto yang menghendaki kembalinya “Demokrasi Pancasila” yang dengan landasan UUD 1945 yang “murni dan konsekuen” berhasil berkuasa selama 32 tahun.
Tuntutan untuk kembali ke UUD 1945 jelas diwarnai nostalgia atau sindrom pada kekuasaan otoriter dan totaliter yang pernah dinikmati di masa lampau dan merasa “kehilangan” atau tak bisa eksis lagi untuk membangun kekuatan politik dalam konteks UUD 1945 hasil amandemen.

B. Pengertian Amandemen UUD 1945
Amandemen diambil dari bahasa Inggris yaitu "amendment". Amends artinya merubah, biasanya untuk masalah hukum. The law has been amended (undang-undang itu telah di amandemen). Jadi yang dimaksud dengan Amandemen UUD 45 pasal-pasal dari UUD 45 itu sudah mengalami perubahan yang tertulis atau maknanya, barangkali. Kapan UUD 45 itu dimandemen ?. Perlu diketahui ada perbedaan antara rancangan UUD yang dibuat oleh pantia BPUPKI dengan naskah UUD 45 yang disetujui dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Jadi anggaplah dasar UUD 45 yang belum diamandemen adalah UUD 45 yang tercantum dalam ketetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Memilih Soekarno dan Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Dan memang dalam Aturan Peralihan UUD 45, pasal IV tercantum : Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.
Dengan perkataan lain saat itu Presiden berkuasa tanpa batas karena beliau berfungsi ya sebagai eksekutif, sebagai pimpinan legislatif. Ini kurang demokratis, padahal Republik Indonesia saat itu harus menunjukkan sifatnya yang didukung rakyat. Kalau tidak, maka Belanda bakal berkoar-koar membenarkan bahwa Pemerintahan Soekarno, fasistik ala Jepang. Makanya konstitusi kita dicermati harus diamandemen.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.

C. Perubahan Amandemen UUD 1945
Amandemen UUD 1945 dilakukan sebanyak 4 kali. Keempat tahap amandemen tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Amandemen pertama: dalam sidang umum MPR oktober 1999
2.      Amandemen kedua: dalam sidang tahunan MPR tahun 2000
3.      Amandemen ketiga: dalam sidang tahunan MPR oktober 2001
4.      Amandemen keempat: dalam siding tahunan MPR Agustus 2002

Amandemen pertama menyakut 5 persoalan pokok. Kelima persoalan itu meliputi:
1.      Perubahan tentang lembaga pemegang kekuasaan membuat undang-undang
2.      Perubahan tentang masa jabatan presiden
3.      Perubahan tentang hak prerogative presiden
4.      Perubahan tentang fungsi menteri
5.      Perubahan redaksional



Amandemen kedua dilakukan terhadap 9 persoalan. Kesembilan persoalan tersebut meliputi pengaturan mengenai:
1.      Wilayah Negara
2.      Hak hak asasi manusia
3.      DPR
4.      Pemerintahan Daerah
5.      Pertahan dan keamanan
6.      Lambang Negara
7.      Lagu kebangsaan
    
Amandemen ketiga berkenaan dengan 16 persoalan pokok. Persoalan itu meliputi:
1.      Kedaulatan rakyat
2.      Tugas MPR
3.      Syarat syarat presiden dan wakil presiden
4.      Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung
5.      Pemberentian Presiden
6.      Presiden berhalangan tetap
7.      Kekosongan wakil presiden
8.      Perjanjian internasional
9.      Kementrian Negara
10.  DPD
11.  Pemilihan umun
12.  APBN,pajak dan keuangan Negara
13.  Badan pemeriksa keuangan
14.  Kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung
15.  Komisi yudisial
16.  Mahkamah Konstitusi
  
Amandemen keempat berkenaan dengan 12 persoalan. Persoalan tersebut adalah:
1.      Komposisi keanggotaan MPR
2.      Pemilu presiden dan wakil presiden
3.      Presiden dan wakil presiden tidak dapat menjalankan kewajiban dalam masa jabatan secara bersamaan
4.      Dewan pertimbangan yang bertugas member nasihat presiden
5.      Mata uang
6.      Bank sentral
7.      Badan badan lain dalam kekuasan kehakiman
8.      Pendidikan
9.      Kebudayaan

D. Pandangan Terhadap Amandemen UUD 1945
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan/lembaga politik yang diposisikan “tertinggi” karena dianggap representasi dari  kedaulatan rakyat adalah badan yang dianggap memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD. Hal ini didasari pula pada ketetentuan pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “untuk melakukan perubahan  UUD ditentukan dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang hadir”. Ditambah ketentuan lain yang terdapat dalam pasal 3 UUD 1945 bahwa tugas dari MPR adalah menetapkan UUD, disamping memilih dan menetapkan Presiden dan Wapres serta membuat GBHN.
Sepanjang reformasi dalam sidang-sidangnya, MPR telah mengubah UUD 1945 sebanyak empat kali. Pada perubahan yang pertama, MPR mengubah 9 pasal UUD 1945 yang berkenaan dengan soal kewenangan eksekutif-legislatif serta pembatasan masa jabatan eksekutif (presiden). Sedangkan pada perubahan yang kedua, MPR tidak hanya mengubah tapi juga menambah muatan materi yang terkandung didalamnya. Perubahan dan penambahan itu  menyangkut soal wilayah negara, warga negara dan penduduk, hak asasi manusia,  kewenangan DPR, Pemerintahan Daerah (otonomi daerah), Pertahanan dan Keamanan Negara, Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu kebangsaan.
Diakui bahwa dalam perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama dengan dimuatnya soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme yang mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam konstitusi. Selain itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi eksekutif (presiden), telah mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif heavy. Dan sebagai perimbangannya diberikan kewenangan-kewenangan kepada DPR, sebagai upaya untuk  memberdayakan legislatif terutama dalam fungsinya melakukan kontrol terhadap eksekutif. Perubahan ini berangkat dari pengalaman pemerintahan yang terjadi selama ini dengan sangat kuatnya eksekutif (presiden) dan lemahnya DPR, sehingga “tidak ada” kontrol sama sekali dari DPR terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman dengan pemerintahan yang didominasi eksekutif dan tiadanya kontrol terhadapnya telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan itu menimbulkan akibat-akibat seperti yang dialami saat ini.
Dengan penambahan kewenangan kepada DPR, terutama dalam soal fungsi legislasi dan pengawasannya dapat dikatakan telah terjadi pergeseran bandul politik ke arah legislatif. Namun pergeseran itu sendiri, masih belum menampakkan secara jelas sistem pemerintahan yang akan diterapkan. Mengingat hanya ada dua model pemerintahan yang dianut negara-negara demokrasi lainnya, antara sistem pemerintahan presidensiil atau parlementer. Indonesia dikategorikan menganut sistem percampuran (quasi) antara keduanya berdasarkan distribusi kekuasaan bukan atas dasar pemisahan kekuasaan. Sistem dengan pencampuran semacam nampaknya akan masih menyisakan persoalan-persoalan, jika dikaitkan dengan kejelasan masing-masing hak dan kewenangan lembaga-lembaga negara serta relasi (check and balances). Perubahan dan penambahan kewenangan kepada DPR itu nampaknya hanya memindah masalah baru dan memperpanjang krisis politik, karena tidak berangkat dari kerangka dasar disertai pemahaman yang jelas. Kesemuanya masih menggantung, apalagi perubahan itu juga tidak dilakukan secara bersamaan, masih menyisakan soal yudikatif (kekuasaan kehakiman yang mandiri) yang belum diubah yang selama ini juga tidak lepas dari dominasi eksekutif.
Satu hal mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya sebagai lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis, karena perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan lembaga legeslatif. MPR yang dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi rakyat dan dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan lainnya menjadi super body yang tidak dapat dikontrol. Meskipun telah ada pemikiran dan kehendak dari masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi dan peran MPR terkait dengan keinginan pemilihan presiden secara langsung menjadi sistem bikameral atau meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 itu belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.
Disamping mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah memutuskan untuk tidak mengubah Pembukaan, Sistem Pemerintahan Presidensiil dan Konsep Negara Kesatuan. Keputusan untuk tidak mengubah ketiga hal tersebut secara politis memang terkesan telah menjadi kehendak mayoritas bangsa. Namun keputusan itu tidak berangkat dari kenyataan yang ada dan disertai pemahaman dan penerimaan publik yang rasional. MPR terlalu tergesa-gesa menutup ruang publik yang hendak mempertanyakan kembali esensi dari ketiganya dan publik dipaksa untuk menerima sesuatu yang diluar kehendak dan pada kenyataannya adalah berbeda. Ruang publik itu telah dipenjara secara politis oleh MPR.
Dalam soal negara kesatuan misalnya, masyarakat telah menggugat konsep negara kesatuan dan ingin menggantikannya dengan negara federal untuk menghindar dari sentralisasi dan eksploitasi yang selama ini terjadi dalam negara kesatuan. Sedangkan penetapan sistem pemerintahan presidensiil, pada kenyataannya masih ada unsur-unsur pemerintahan parlementarian yang dianut dan diterapkan. Bahkan kalau mau jujur saat ini model pemerintahan yang diterapkan sudah condong jauh kearah parlementarian.
Terhadap soal pembukaan, MPR tidak memberikan alasan yang tepat dan cukup rasional diterima publik. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan pada penghargaan terhadap para pendiri bangsa yang telah merumuskan itu, kekhawatiran bubarnya negara kalau itu diubah dan adanya deologi negara pancasila dalam pembukaan. Sesungguhnya kekhawatiran bubarnya negara jika pembukaan diubah tidaklah beralasan, karena secara historis para founding fathers yang merumuskan pembukaan itu juga telah mengubahnya dalam pembukaan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dan perubahan pembukaan itu ternyataa tidak menyebabkan bubarnya negara. Dengan “ditutupnya” ruang publik untuk dapat menerima ketiga hal tersebut secara obyektif dan rasional, dikhawatirkan akan tetap menimbulkan persoalan dikemudian hari. Ibaratnya seperti bom waktu yang setiap saat bisa meledak, tuntutan dan gugatan terhadap pembukaan, sistem presidensiil dan negara kesatuan bisa muncul sewaktu-waktu.
Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa hasil perubahan UUD 1945 tidak menunjukkan perubahan yang mendasar bagi bangunan negara Indonesia yang demokratis kedepan. Mengingat peran konstitusi sebagai sumber dari segala sumber hukum dan sebagai kerangka kerja demokrasi yang mengatur dan menentukan posisi serta hubungan lembaga presiden, legeslatif dan yudikatif,  juga pemerintahan yang bersifat desentralistik,  hasil perubahan-perubahan UUD 1945 belum memberikan jaminan soal itu. Lebih dari itu, hasil perubahan UUD 1945 belum menjadikan identitas nasional baru yang sesuai dengan kebutuhan, aspirasi dan semangat yang berkembang saat ini.

E. Pandangan Penolakan Terhadap Amandemen UUD 1945
Adanya pro dan kontra amandemen UUD 1945 dilihat dari perspektif konstitusionalisme adalah karena belum jelasnya konsep kenegaraan (staatsidee) yang kita anut, apakah paham kenegaraan integralistik atau demokrasi konstitusional.
Secara umum perumusan amandemen UUD 1945 ada beberapa kelemahan mendasar, yaitu :
Pertama, terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu.
Kedua, menyangkut masalah teknik yuridis, yakni lemahnya kemampuan legal drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir. Namun, adanya kelemahan tersebut tidak berarti kita harus kembali kepada UUD 1945.
Adapun beberapa alasan penolakan atas amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebagai berikut :
1.      Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif. Konstitusi ini masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara dan aspek protektif individu dalam hak asasi manusia  aspek restriktif ini merupakan koreksi langsung terhadap, misalnya, tiadanya pembatasan masa jabatan presiden di masa Presiden Soeharto. Demikian pula peningkatan otonomi daerah yang membatasi kekuasaan pusat. Selain sifatnya restriktif, amandemen UUD 1945 juga memiliki aspek integratif yang tercermin dari pembentukan DPD, yang diharapkan dapat membantu penyampaian aspirasi daerah. Amandemen UUD 1945 memiliki pula aspek protektif dengan dicantumkannya 10 pasal (28A sampai 28J) tentang HAM, proteksi bahasa daerah, dan masyarakat adat.
2.      Dibuat Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan oleh komisi independen.
3.      Amandemen UUD 1945 ini juga tak memiliki content draft yang utuh, penjelasan mengenai pasal-pasal yang diamandemen pun minim. Selain itu, partisipasi publik rendah. Publik tidak diberi peluang menilai perubahan yang dilakukan.
4.      amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting dilihat dari segi kedaulatan :
·         Tiadanya kemampuan rakyat pemilih menarik kedaulatan mereka
·         Tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil terhadap militer
·         Tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan otonomi.
Tampak amandemen belum bersifat membatasi (restriktif) kekuasaan legislatif terhadap    pemilih, militer terhadap sipil, dan pemerintah pusat terhadap daerah otonomi khusus.
1.      Hilangnya Kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.  “Salah satu contoh terjadinya perombakan itu pada pasal 1 ayat 2 UUD 45 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sekarang dirombak menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, perombakan itu membawa implikasi perubahan hukum yaitu hilangnya eksistensi konstitusional MPR dan tidak lagi penyelenggara negara yang tertinggi. Hal ini akan menimbulkan kontroversi.
2.      Kurangnya kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan melakukan koreksi atas pihak yang dititipi kedaulatan, yakni DPR.Rakyat pemilih tidak dapat melakukan impeachment pada wakil rakyat yang tidak menjalankan aspirasi mereka. Sebaliknya, pola pemecatan pejabat eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga legislate.








BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Melihat dengan adanya pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Maka penyusun dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1.      Permasalahan pokok yang mengakibatkan terjadinya perdebatan adalah perumusan amandemen UUD 1945 yang multitafsir., yakni lemahnya kemampuan legal drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir
2.      Perbedaan perdapat yang terjadi pula terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu.
3.      keempat amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting dilihat dari segi kedaulatan. Pertama, tiadanya kemampuan rakyat pemilih menarik kedaulatan mereka. Kedua, tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil terhadap militer. Ketiga, tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan otonomi.

B. Saran
1.      Kita bangsa Indonesia dalam era reformasi ini harus berhati-hati dalam menyikapi perubahan. Karena perubahan tanpa arah/tidak menentu Contohnya perubahan UUD 1945 menjadi amandemen UUD 1945.
2.      Saat era reformasi ini terkesan banyak perbedaan-perbedaan yang menimbulkan perpecahan bangsa Indonesia
3.      Adanya amandemen UUD 1945 merupakan kemunduran bangsa Indonesia,karena adanya idiologi bangsa Indosesia Pancasila diganti dengan idiologi Budi pekerti luhur dan akhlak mulia.itu sifatnya relatif /tidak menentu/banyak pengertian/banyak penafsiran.
4.      Selamat berjuang generasi penerus dan semua bangsa Indonesia untuk negara dan bangsa Indonesia.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar di atas caranya
1. Masukkan Komentar anda di kolom komentar
2. Pada Kotak "Beri Komentar sebagai" pilih akun yang ada pada pilihan.
3. klik publikasikan.
5. isi code capta
6. tekan enter atau publikasikan.

Anda di perbolehkan berkomentar dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. Komentar jangan mengandung SARA dan PORNO
2. Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan.
3. Tidak Boleh SPAM
4. Jangan meninggalkan Link aktif pada komentar. Komentar dengan Link Aktif akan dihapus.
5. Berkomentarlah sesuai dengan topik artikel

 
Support : Amalkan Ilmu Berbagi Untuk Semua | Blog SEO Arul
Copyright © 2013. Amriani Hamzah Dara Daeng Makassar - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger