A. Latar Belakang
Reformasi
menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi
causa prima penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan
yang berlanjut kepada krisis sosial-politik, bobroknya managemen negara yang
mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya
kepastian hukum akibat telah dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia
1945. Itu terjadi karena fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945
bukanlah bangunan yang demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam
pasal-pasal dan juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses
pemerintahan kepada penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya
kemudian bergantung pada penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih
banyak untuk legitimasi dan kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali
kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998)
telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa dengan masih
menggunakan UUD yang all size itu akan berperilaku sama dengan penguasa
sebelumnya.
Keberadaan
UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah
mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada
hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya
memulai “kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang
dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar
(konstitusi). Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan
sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju kearah sistem yang
demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang. Dengan demikian
perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal
ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya
demokratisasi suatu bangsa.
Realitas
yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam
setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara
mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam
situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik
dan terpenting dari proses perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan
dapat terlihat apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga
masyarakat, dan apakah telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia
kedepan. Wajah Indonesia yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai
keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan. Dengan melihat
kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah
rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan
sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah
mencerminkan kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat
berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi
menjadi monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.
B. Pembatasan Masalah
Dalam
sistem kenegaraan, masalah perundang – undangan merupakan hal yang sangat
penting bagi jalannya sistem pemerintahan suatu negara, disebabkan berjalannya
sistem pemerintahan tidak lepas dari rujukan yang mesti dilaksanakan dalam
perundang – undangan negara. Masalah
kontroversi perubahan UUD 1945 yang masih menjadi perbincangan, merupakan bahan
yang kami bahas dalam makalah ini
C. Identifikasi Masalah
Dalam
prosesnya, amandemen UUD 1945 menimbulkan perdebatan, penyusun mengidentifikasi
beberapa masalah pokok sebagai berikut :
1. Sejarah
ketatanegaraan Republik Indonesia sejak awal terbentuknya UUD 1945 sampai saat
kini.
2. Permasalahan
yang kencenderungan terjadi perdebatan sehingga timbulnya pra-kontra terhadap
perumusan amandemen UUD 1945.
3. Beberapa
pendapat terhadap amandemen UUD 1945.
D. Manfaat
Sedangkan manfaat yang diharapkan
dapat diperoleh adalah sebagai berikut
1. Meningkatkan
pengetahuan tentang negara dan konstitusi negara Republik Indonesia
2. Lebih mengenal
kembali Undang-undang dasar negara Republik Indonesia
3. Mengikuti proses
perkembangan perundangan Republik Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Ketatanegeraan
Saat
founding fathers menerima diberlakukannya UUD 1945 yang dicetuskan Prof Soepomo
pada sidang PPKI 18 Agustus 1945 telah menyadari, UUD 1945 hanya bersifat
sementara atau istilah Bung Karno “undang-undang dasar kilat”. Mereka semua
committed jika kelak keadaan mengizinkan, bangsa Indonesia akan melaksanakan
pemilu untuk membuat UUD baru yang definit berasas kedaulatan rakyat.
Sejarah
ketatanegaraan kita yang menggunakan konstitusi UUD 1945 sebagai landasan
struktural telah menghasilkan berbagai sistem pemerintahan yang berbeda-beda,
bahkan pernah bertolak belakang secara konseptual.
Dalam
periode revolusi, hanya di masa kabinet Soekarno-Hatta yang pertama (Agustus
1945-sampai keluar Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945), berarti hanya dua bulan
kita menerapkan UUD 1945 yang “asli” yang kekuasaan sepenuhnya di tangan
Presiden. Maklumat Wakil Presiden No X mengubah secara mendasar sistem
ketatanegaraan dari Presidensial ke Parlementer, meski tetap menggunakan UUD
1945 sebagai konstitusi.
Pada
1949 bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945 dengan Konstitusi RIS dan tahun
1950 lagi-lagi diganti dengan UUD Sementara 1950, tetapi tetap menganut paham
demokrasi konstitusional meski dengan sistem berlainan. Baru tahun 1955 pertama
kali diselenggarakan pemilu dan dibentuk Majelis Konstituante untuk membuat UUD
baru yang definitif.
Sebelum
tugasnya selesai, Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno 5
Juli 1959. Bukan disebabkan Konstituante tak berhasil atau mengalami deadlock
dalam menyusun UUD baru sebagaimana diajarkan dalam semua buku pelajaran
sejarah versi pemerintah, tetapi karena ada kepentingan politik dari kalangan
militer dan pendukung Soekarno.
Dengan
diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, timbul kembali
pemerintahan otoriter di bawah panji Demokrasi Terpimpin Soekarno dilanjutkan
rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi Pancasila.
Dalam
masa pemerintahan transisi, baik di zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati
sebelum Pemilu 2004, kita menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945 mengatur
penyelenggaraan kekuasaan negara karena sifatnya yang multi-interpretasi.
Pemegang kekuasaan negara bisa melakukan berbagai distorsi dan devisiasi
nilai-nilai demokrasi dan sistem pemerintahan.
kondisi
dewasa ini dikhawatirkan kita menghadapi bahaya pengulangan sejarah, adanya
sisa-sisa kalangan militer dan pendukung Soekarno yang menghendaki kembalinya
“Demokrasi Terpimpin”. Dulu mereka berhasil menjegal Majelis Konstituante
dengan memakai “pedang” Dekrit 5 Juli 1959. Atau pendukung Soeharto yang
menghendaki kembalinya “Demokrasi Pancasila” yang dengan landasan UUD 1945 yang
“murni dan konsekuen” berhasil berkuasa selama 32 tahun.
Tuntutan
untuk kembali ke UUD 1945 jelas diwarnai nostalgia atau sindrom pada kekuasaan
otoriter dan totaliter yang pernah dinikmati di masa lampau dan merasa
“kehilangan” atau tak bisa eksis lagi untuk membangun kekuatan politik dalam
konteks UUD 1945 hasil amandemen.
B. Pengertian Amandemen UUD 1945
Amandemen
diambil dari bahasa Inggris yaitu "amendment". Amends artinya
merubah, biasanya untuk masalah hukum. The law has been amended (undang-undang
itu telah di amandemen). Jadi yang dimaksud dengan Amandemen UUD 45 pasal-pasal
dari UUD 45 itu sudah mengalami perubahan yang tertulis atau maknanya,
barangkali. Kapan UUD 45 itu dimandemen ?. Perlu diketahui ada perbedaan antara
rancangan UUD yang dibuat oleh pantia BPUPKI dengan naskah UUD 45 yang
disetujui dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Jadi anggaplah dasar UUD
45 yang belum diamandemen adalah UUD 45 yang tercantum dalam ketetapan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Memilih Soekarno dan Hatta menjadi
Presiden dan Wakil Presiden.
Pekerjaan
Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Dan memang
dalam Aturan Peralihan UUD 45, pasal IV tercantum : Sebelum Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung
dibentuk menurut Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh
Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.
Dengan
perkataan lain saat itu Presiden berkuasa tanpa batas karena beliau berfungsi
ya sebagai eksekutif, sebagai pimpinan legislatif. Ini kurang demokratis,
padahal Republik Indonesia saat itu harus menunjukkan sifatnya yang didukung
rakyat. Kalau tidak, maka Belanda bakal berkoar-koar membenarkan bahwa
Pemerintahan Soekarno, fasistik ala Jepang. Makanya konstitusi kita dicermati
harus diamandemen.
Tujuan
perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara
demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan
UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945,
tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau
selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
C. Perubahan Amandemen UUD 1945
Amandemen
UUD 1945 dilakukan sebanyak 4 kali. Keempat tahap amandemen tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Amandemen
pertama: dalam sidang umum MPR oktober 1999
2. Amandemen
kedua: dalam sidang tahunan MPR tahun 2000
3. Amandemen
ketiga: dalam sidang tahunan MPR oktober 2001
4. Amandemen
keempat: dalam siding tahunan MPR Agustus 2002
Amandemen
pertama menyakut 5 persoalan pokok. Kelima persoalan itu meliputi:
1. Perubahan
tentang lembaga pemegang kekuasaan membuat undang-undang
2. Perubahan
tentang masa jabatan presiden
3. Perubahan
tentang hak prerogative presiden
4. Perubahan
tentang fungsi menteri
5. Perubahan
redaksional
Amandemen
kedua dilakukan terhadap 9 persoalan. Kesembilan persoalan
tersebut meliputi pengaturan mengenai:
1. Wilayah
Negara
2. Hak
hak asasi manusia
3. DPR
4. Pemerintahan
Daerah
5. Pertahan
dan keamanan
6. Lambang
Negara
7. Lagu
kebangsaan
Amandemen
ketiga berkenaan dengan 16 persoalan pokok. Persoalan itu meliputi:
1. Kedaulatan
rakyat
2. Tugas
MPR
3. Syarat
syarat presiden dan wakil presiden
4. Pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung
5. Pemberentian
Presiden
6. Presiden
berhalangan tetap
7. Kekosongan
wakil presiden
8. Perjanjian
internasional
9. Kementrian
Negara
10. DPD
11. Pemilihan
umun
12. APBN,pajak
dan keuangan Negara
13. Badan
pemeriksa keuangan
14. Kekuasaan
kehakiman dan Mahkamah Agung
15. Komisi
yudisial
16. Mahkamah
Konstitusi
Amandemen
keempat berkenaan dengan 12 persoalan. Persoalan tersebut adalah:
1. Komposisi
keanggotaan MPR
2. Pemilu
presiden dan wakil presiden
3. Presiden
dan wakil presiden tidak dapat menjalankan kewajiban dalam masa jabatan
secara bersamaan
4. Dewan
pertimbangan yang bertugas member nasihat presiden
5. Mata
uang
6. Bank
sentral
7. Badan
badan lain dalam kekuasan kehakiman
8. Pendidikan
9. Kebudayaan
D. Pandangan Terhadap Amandemen UUD
1945
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan/lembaga politik yang diposisikan
“tertinggi” karena dianggap representasi dari kedaulatan rakyat adalah
badan yang dianggap memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD. Hal ini
didasari pula pada ketetentuan pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “untuk
melakukan perubahan UUD ditentukan dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang hadir”. Ditambah
ketentuan lain yang terdapat dalam pasal 3 UUD 1945 bahwa tugas dari MPR adalah
menetapkan UUD, disamping memilih dan menetapkan Presiden dan Wapres serta
membuat GBHN.
Sepanjang
reformasi dalam sidang-sidangnya, MPR telah mengubah UUD 1945 sebanyak empat
kali. Pada perubahan yang pertama, MPR mengubah 9 pasal UUD 1945 yang berkenaan
dengan soal kewenangan eksekutif-legislatif serta pembatasan masa jabatan
eksekutif (presiden). Sedangkan pada perubahan yang kedua, MPR tidak hanya
mengubah tapi juga menambah muatan materi yang terkandung didalamnya. Perubahan
dan penambahan itu menyangkut soal wilayah negara, warga negara dan
penduduk, hak asasi manusia, kewenangan DPR, Pemerintahan Daerah (otonomi
daerah), Pertahanan dan Keamanan Negara, Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan
Lagu kebangsaan.
Diakui
bahwa dalam perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama dengan
dimuatnya soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme
yang mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam
konstitusi. Selain itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan
bagi eksekutif (presiden), telah mengurangi dominasi dari pemerintahan yang
eksekutif heavy. Dan sebagai perimbangannya diberikan kewenangan-kewenangan
kepada DPR, sebagai upaya untuk memberdayakan legislatif terutama dalam
fungsinya melakukan kontrol terhadap eksekutif. Perubahan ini berangkat dari
pengalaman pemerintahan yang terjadi selama ini dengan sangat kuatnya eksekutif
(presiden) dan lemahnya DPR, sehingga “tidak ada” kontrol sama sekali dari DPR
terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman dengan pemerintahan yang didominasi
eksekutif dan tiadanya kontrol terhadapnya telah berlangsung lebih dari 32
tahun dan itu menimbulkan akibat-akibat seperti yang dialami saat ini.
Dengan
penambahan kewenangan kepada DPR, terutama dalam soal fungsi legislasi dan
pengawasannya dapat dikatakan telah terjadi pergeseran bandul politik ke arah
legislatif. Namun pergeseran itu sendiri, masih belum menampakkan secara jelas
sistem pemerintahan yang akan diterapkan. Mengingat hanya ada dua model
pemerintahan yang dianut negara-negara demokrasi lainnya, antara sistem
pemerintahan presidensiil atau parlementer. Indonesia dikategorikan menganut
sistem percampuran (quasi) antara keduanya berdasarkan distribusi kekuasaan
bukan atas dasar pemisahan kekuasaan. Sistem dengan pencampuran semacam
nampaknya akan masih menyisakan persoalan-persoalan, jika dikaitkan dengan
kejelasan masing-masing hak dan kewenangan lembaga-lembaga negara serta relasi
(check and balances). Perubahan dan penambahan kewenangan kepada DPR itu
nampaknya hanya memindah masalah baru dan memperpanjang krisis politik, karena
tidak berangkat dari kerangka dasar disertai pemahaman yang jelas. Kesemuanya
masih menggantung, apalagi perubahan itu juga tidak dilakukan secara bersamaan,
masih menyisakan soal yudikatif (kekuasaan kehakiman yang mandiri) yang belum
diubah yang selama ini juga tidak lepas dari dominasi eksekutif.
Satu
hal mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya sebagai
lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis,
karena perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan lembaga
legeslatif. MPR yang dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi rakyat
dan dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan lainnya menjadi super body yang
tidak dapat dikontrol. Meskipun telah ada pemikiran dan kehendak dari
masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi dan peran MPR terkait dengan
keinginan pemilihan presiden secara langsung menjadi sistem bikameral atau
meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 itu belum
menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.
Disamping
mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah memutuskan untuk
tidak mengubah Pembukaan, Sistem Pemerintahan Presidensiil dan Konsep Negara
Kesatuan. Keputusan untuk tidak mengubah ketiga hal tersebut secara politis
memang terkesan telah menjadi kehendak mayoritas bangsa. Namun keputusan itu
tidak berangkat dari kenyataan yang ada dan disertai pemahaman dan penerimaan
publik yang rasional. MPR terlalu tergesa-gesa menutup ruang publik yang hendak
mempertanyakan kembali esensi dari ketiganya dan publik dipaksa untuk menerima
sesuatu yang diluar kehendak dan pada kenyataannya adalah berbeda. Ruang publik
itu telah dipenjara secara politis oleh MPR.
Dalam
soal negara kesatuan misalnya, masyarakat telah menggugat konsep negara
kesatuan dan ingin menggantikannya dengan negara federal untuk menghindar dari
sentralisasi dan eksploitasi yang selama ini terjadi dalam negara kesatuan.
Sedangkan penetapan sistem pemerintahan presidensiil, pada kenyataannya masih
ada unsur-unsur pemerintahan parlementarian yang dianut dan diterapkan. Bahkan
kalau mau jujur saat ini model pemerintahan yang diterapkan sudah condong jauh
kearah parlementarian.
Terhadap
soal pembukaan, MPR tidak memberikan alasan yang tepat dan cukup rasional
diterima publik. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan pada penghargaan
terhadap para pendiri bangsa yang telah merumuskan itu, kekhawatiran bubarnya
negara kalau itu diubah dan adanya deologi negara pancasila dalam pembukaan.
Sesungguhnya kekhawatiran bubarnya negara jika pembukaan diubah tidaklah
beralasan, karena secara historis para founding fathers yang merumuskan
pembukaan itu juga telah mengubahnya dalam pembukaan Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950. Dan perubahan pembukaan itu ternyataa tidak menyebabkan bubarnya
negara. Dengan “ditutupnya” ruang publik untuk dapat menerima ketiga hal
tersebut secara obyektif dan rasional, dikhawatirkan akan tetap menimbulkan
persoalan dikemudian hari. Ibaratnya seperti bom waktu yang setiap saat bisa
meledak, tuntutan dan gugatan terhadap pembukaan, sistem presidensiil dan
negara kesatuan bisa muncul sewaktu-waktu.
Dengan
demikian secara umum dapat dikatakan bahwa hasil perubahan UUD 1945 tidak
menunjukkan perubahan yang mendasar bagi bangunan negara Indonesia yang
demokratis kedepan. Mengingat peran konstitusi sebagai sumber dari segala
sumber hukum dan sebagai kerangka kerja demokrasi yang mengatur dan menentukan
posisi serta hubungan lembaga presiden, legeslatif dan yudikatif, juga
pemerintahan yang bersifat desentralistik, hasil perubahan-perubahan UUD
1945 belum memberikan jaminan soal itu. Lebih dari itu, hasil perubahan UUD
1945 belum menjadikan identitas nasional baru yang sesuai dengan kebutuhan,
aspirasi dan semangat yang berkembang saat ini.
E. Pandangan Penolakan Terhadap
Amandemen UUD 1945
Adanya
pro dan kontra amandemen UUD 1945 dilihat dari perspektif konstitusionalisme
adalah karena belum jelasnya konsep kenegaraan (staatsidee) yang kita anut,
apakah paham kenegaraan integralistik atau demokrasi konstitusional.
Secara
umum perumusan amandemen UUD 1945 ada beberapa kelemahan mendasar, yaitu :
Pertama,
terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain ketatanegaraan
yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian
amandemen itu.
Kedua,
menyangkut masalah teknik yuridis, yakni lemahnya kemampuan legal drafting
dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika
yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil
amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir.
Namun, adanya kelemahan tersebut tidak berarti kita harus kembali kepada UUD
1945.
Adapun
beberapa alasan penolakan atas amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebagai
berikut :
1. Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif. Konstitusi ini masih
bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara dan aspek
protektif individu dalam hak asasi manusia aspek restriktif ini merupakan
koreksi langsung terhadap, misalnya, tiadanya pembatasan masa jabatan presiden
di masa Presiden Soeharto. Demikian pula peningkatan otonomi daerah yang
membatasi kekuasaan pusat. Selain sifatnya restriktif, amandemen UUD 1945 juga
memiliki aspek integratif yang tercermin dari pembentukan DPD, yang diharapkan
dapat membantu penyampaian aspirasi daerah. Amandemen UUD 1945 memiliki pula
aspek protektif dengan dicantumkannya 10 pasal (28A sampai 28J) tentang HAM,
proteksi bahasa daerah, dan masyarakat adat.
2. Dibuat
Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan oleh komisi independen.
3. Amandemen
UUD 1945 ini juga tak memiliki content draft yang utuh, penjelasan mengenai
pasal-pasal yang diamandemen pun minim. Selain itu, partisipasi publik rendah.
Publik tidak diberi peluang menilai perubahan yang dilakukan.
4. amandemen
yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting dilihat dari segi
kedaulatan :
·
Tiadanya kemampuan rakyat pemilih
menarik kedaulatan mereka
·
Tidak dicantumkan supremasi otoritas
sipil terhadap militer
·
Tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh
dan Papua maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat
mengurangi arti kekhususan otonomi.
Tampak
amandemen belum bersifat membatasi (restriktif) kekuasaan legislatif
terhadap pemilih, militer terhadap sipil, dan pemerintah
pusat terhadap daerah otonomi khusus.
1. Hilangnya
Kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. “Salah
satu contoh terjadinya perombakan itu pada pasal 1 ayat 2 UUD 45 yang berbunyi
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sekarang
dirombak menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
UUD, perombakan itu membawa implikasi perubahan hukum yaitu hilangnya eksistensi
konstitusional MPR dan tidak lagi penyelenggara negara yang tertinggi. Hal ini
akan menimbulkan kontroversi.
2. Kurangnya
kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan melakukan koreksi atas pihak yang
dititipi kedaulatan, yakni DPR.Rakyat pemilih tidak dapat melakukan impeachment
pada wakil rakyat yang tidak menjalankan aspirasi mereka. Sebaliknya, pola
pemecatan pejabat eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga legislate.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melihat dengan adanya pembahasan yang
telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Maka penyusun dapat memberikan kesimpulan
sebagai berikut :
1. Permasalahan
pokok yang mengakibatkan terjadinya perdebatan adalah perumusan amandemen UUD
1945 yang multitafsir., yakni lemahnya kemampuan legal drafting dalam merumuskan
dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika yang rancu maupun
bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang
tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir
2. Perbedaan
perdapat yang terjadi pula terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak
memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan
yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu.
3. keempat
amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting dilihat
dari segi kedaulatan. Pertama, tiadanya kemampuan rakyat pemilih menarik
kedaulatan mereka. Kedua, tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil terhadap
militer. Ketiga, tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun
Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti
kekhususan otonomi.
B. Saran
1. Kita
bangsa Indonesia dalam era reformasi ini harus berhati-hati dalam menyikapi
perubahan. Karena perubahan tanpa arah/tidak menentu Contohnya perubahan UUD
1945 menjadi amandemen UUD 1945.
2. Saat
era reformasi ini terkesan banyak perbedaan-perbedaan yang menimbulkan
perpecahan bangsa Indonesia
3. Adanya
amandemen UUD 1945 merupakan kemunduran bangsa Indonesia,karena adanya idiologi
bangsa Indosesia Pancasila diganti dengan idiologi Budi pekerti luhur dan
akhlak mulia.itu sifatnya relatif /tidak menentu/banyak pengertian/banyak
penafsiran.
4.
Selamat berjuang generasi penerus
dan semua bangsa Indonesia untuk negara dan bangsa Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar di atas caranya
1. Masukkan Komentar anda di kolom komentar
2. Pada Kotak "Beri Komentar sebagai" pilih akun yang ada pada pilihan.
3. klik publikasikan.
5. isi code capta
6. tekan enter atau publikasikan.
Anda di perbolehkan berkomentar dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. Komentar jangan mengandung SARA dan PORNO
2. Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan.
3. Tidak Boleh SPAM
4. Jangan meninggalkan Link aktif pada komentar. Komentar dengan Link Aktif akan dihapus.
5. Berkomentarlah sesuai dengan topik artikel