BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Krisis ekonomi yang melanda Thailand,
Malaysia, Indonesia, dan Filipina sejak pertengahan tahun 1997 adalah harga
mahal yang harus dibayar untuk model pembangunan kapitalistik pilihan
peerintahan, yang pada dasarnya mengejar pertumbuhan tinggi, ekspensi usaha,
dan konglomerasi. Meneurut Peter
Timmer, mengatakan bahwa dalam kurun waktu 1965 hingga 1990, Indonesia berada
di peringkat 6 dari 20 negara di dunia yang mengalami pertumbuhan ekonomi
sebesar 4,5%. Namun, pemerataan hasil-hasil pembangunan merupakan salah satu
komponen dalam Trilogi Pembangunan pemerintah Order Baru tampaknya belum
tercapai. Salah satu penyebab kesenjangan adalah konsentrasi tinggi dari
akumulasi modal yang hanya dimiliki segelintir kalangan saja. Pertumbuhan
tinggi dalam praktik tak dapat dilepaskan dari kegiatan penimbunan keuntungan,
suatu yang inheren dalam kapitalisme. Salah satu argumen tentang penyebab
krisis 1997 adalah intervensi pemerintah dan crony capitalism yang pada gilirannya menggerogoti kepercayaan para
investor yang pada akhirnya melakukan pelarian modal ke luar negeri. Pada
praktik crony capitalism, pemerintah
memberikan hak monopoli dan kemudahan-kemudahan bisnis kepada beberapa
konglomerat tertentu.
Jelas bahwa upaya memulihkan
perekonomian Indonesia pascakrisis tampaknya idak akan mempan hanya dengan
sekadar mendongkrak rupiah atau melunasi utang, tetapi dngan meninggalkan
paradigma kapitalisme klasik (dengan cita-cita pertumbuhan tinggi dan pasar)
dan memberlakukan paradigma demokrasi ekonomi yang melibatkan seluruh komponen
ekonomi, termasuk pengusaha kecil dan menengah yang tidak mendapat tempat dan
peran secukupnya dalam paradigma lama. Ditambah lembaga-lembaga finansial domestik yang tidak transparan, korupsi
di kalagan birokrasi serta mensiensi dan biaya transaksi yang tidak jelas,
kepercayaan para investor pun hilang. Demokrasi ekonomi bisa terwujud bukan saja dengan mendemokratisasi sistem
ekonomi, melainkan menuntut pula langkah demokratisasi sistem ekonomi.
Artinya, demokrasi ekonomi harus menjadi kemauan politik pengusaha untuk
membangun institusi dasar yang adil, dimana setiap warga negara diberi
kesempatan untuk mengembangkan diri dan usaha. Dasar ekonomi rakyat adalah
pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi:
1. Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama dengan atas
asas kekeluargaan
2. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara
3. Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kmakmuran rakyat.
Penjelasan resmi
Pasal 33 UUD 1945 ini berbunyi antara lain: “....perekonomian berdasar atas
demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang!”. Bung Hatta dalam konferensi
ekonomi di Yogyakarta pada 3 Februari 1946 mengatakan ada banyak nama untuk demokrasi ekonomi,
yaitu ekonomi rakyat, ekonomi kerakyatan, ekonomi berdimensi kerakyatan, dan
demokrasi ekonomi. Adapun namanya, isinya hanya satu, yaitu melibatkan seluruh
komponen masyarakat, termasuk rakyat kecil ataupun pengusaha kecil dan menengah
yang selama ini terpinggikan. Sjahrir memberikan sedikitnya empat komponen yang
ideal dalam ekonomi berdimensi kerakyatan, yakni pertumbuhan tinggi,
pengurangan ketidakadilan ekonomi sosial dan kemiskinan absolut, partisipasi
yang emansipatif, dan pembangunan berwawasan lingkungan. Pengembangan usaha
skala kecil akan memperkokoh perekonomian nasional karena rakyat kecil diberi
peran aktif dan peluang untuk tumbuh dan berkembang, misalnya ikut mengolah
hasil bumi dan lautan. Pengembangan sistem ekonomi yang member peluang bagi
usaha-usaha kecil untuk berkiprah dalam perekonomian nasional akan mendorong
tumbuhnya perekonomian berbasis wirausaha, yang selanjutnya akan mendorong
munculnya usaha-usaha baru. Usaha kecil dapat
digunakan sebagai penggerak utama dalam mempercepat pemulihan perekonomian
Indonesia. Berhasil tidak usaha kecil sangat bergantung pada para wirausaha,
sebagai pemilik dan pengelola usaha kecil. Dengan demikian, keberhasilan usaha
yang dikelolapara wirausaha akan meningkatkan kemajuan ekonomi dan memperkecil
jumlah pengangguran.
Apa kunci keberhasilan usaha?
Sebagian besar usaha kecil yang survive, menurut penelitian The Asian
Foundation & Akatiga pada usaha-usaha skala kecil di Indonesia adalah usaha
kecil yang menggunakan bahan baku lokal atau yang berhasil mengganti bahan baku
impor dengan bahan baku lokal. Penelitian
Cunningham di Singapura, menunjukkan bahwa keberhasilan berkaitan dengan
sifat-sifat kepribadian, seperti keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan
baik, keinginan untuk berhasil, motivasi diri, percaya diri dan berpikir
positif, komitmen, dan sabar. Temuan serupa juga dicatat oleh peneliti lain.
Plotkin menyebut sifat kreatif dan rasa ingin tahu, mengikuti perkembangan
teknologi dan asertif. Penelitian Mc Ber
& Co di AS menemukan bahwa wirausaha yang berhasil
memiliki sifat proaktif, berorientasi prestasi dan komitmen dengan pihak lain. Meng
& Liang mencatat bahwa kemampuan hubungan manusia merupakan membangun
hubungan positif dengan pihak lain, baik dalam maupun di luar organisasi,
sangat diperlukan untuk keberhasilan usaha.
Faktor demografi dari
wirausaha, yaitu usia, pengalaman, dan pendidikan merupakan faktor-faktor yang melekat pada diri wirausaha dan akan
dilihat pengaruhnya pada keberhasilan usaha. Pengalaman berusaha bisa diperoleh
dari bimbingan sejak kecil yang diberikan oleh orang tua yang berprofesi
wirausaha, atau dari pengalaman bekerja pada suatu organisasi entrepreneurial. Pendidikan memberi kontribusi yang signifikan terhadap
keberhasilan usaha, karena member bekal pengetahuan yang dibutuhkan,
lebih-lebih ketika wirausaha menemui masalah di tengah jalan. Sifat
kepribadian yang paling banyak dibahas oleh para ahli dalam kaitan dengan
wirausaha adalah sifat kreatif dan inovatif. Sering orang menyamakan
kreativitas dan inovasi, padahal keduanya memiliki pengertian berbeda.
Kreativitas berarti menghasilkan suatu yang baru. Kreativitas lebih menekankan
kemampuan, bukan kegiatan. Jadi, orang disebut kreatif jika dia memiliki
ide/gagasan yang baru tanpa harus merealisasikan gagasannya itu. Inovasi adalah
proses melakukan sesuatu yang baru itu. Suatu gagasan baru memiliki nilai bila
gagasan tersebut dapat dapat diterapkan pada suatu produk, proses atau jasa.
Oleh karena itu, inovasi berarti transformasi dari gagasan kreatif pada
aplikasinya yang bermanfaat. Kreativitas merupakan prasyarat untuk inovasi. Berdasarkan
penelitian The Small Business Advocate bulan Mei 1994 atas jenis inovasi dan
peran yang dimainkan oleh bisnis-bisnis kecil, ditemukan empat jenis inovasi pada bisnis kecil, yaitu inovasi
produksi, inivasi jasa/pelayanan, inovasi proses, dan inovasi manajemen. Oleh
Ambile (1997) keempat jenis inovasi seperti itu disebut dengan kreativitas
entrepreneurial. Keempat jenis inovasi ini juga digunakan oleh Higgins (1994)
sebagai konstruk teoretis dalam mengembangkan suatu instrument yang mengukur
inovasi organisasi yang kemudian dikenal dengan nama IQ.
Sifat “kebaruan” pada
inovasi wirausaha ini mengantar kita kepada teori adpsi-inovasi dari Kirton dan
teori inovasi organisasi dari Higgins.
Teori adapsi-inovasi Kirton memandang inovasi dari perspektif
kepribadian individu, sebaliknya inovasi organisasi dari Higgins memendang
inovasi dari perspektif organisasi. Kirton (1989) berpendapat bahwa individu-individu
berbeda secara sistematis dalam kecenderungan gaya kreatif, pengambilan
keputusan, dan pemecahan masalah. Ada 3 elemen yang
menyebabkan perbedaan dalam gaya kreatif seseorang, yaitu keaslian, efisiensi,
dan penyesuaian dengan kelompok. Ketiga dimensi tersebut membentuk individu
menjadi seorang adaptor atau innovator. Seorang adaptor mempunyai cirri-ciri:
memiliki sedikit gagasan baru dan mengevaluasi secara hati-hati gagasan itu
untuk diterapkan pada masalah yang dihadapi. Sebaliknya, seorang innovator suka
menghasilkan banyak gagasan baru dan kurang peduli akan relevansinya dengan
masalah yang dihadapi. Ciri lain seorang adaptor adalah suka akan efisiensi
jangka pendek, mementingkan detail penerapan dan manajemen gagasan baru.
Adaptor menyukai consensus dan suka menyesuaikan diri dengan peraturan atau
kelompok. Sebaliknya seorang innovator lebih suka efektivitas jangka panjang
sehingga ada kesan mereka tidak suka efisiensi, dan suka melanggar peraturan.
Adaptor sudah merasa puas dengan perbaikan-perbaikan kecil, sebaliknya
innovator baru puas bila dapat melakukan perubahan kuantum (perubahan yang
mengubah sistem).
Eisner menyebutkan dua
macam kreativitas di bidang kesenian, yaitu meperluas batas, memperoleh sesuatu
dengan mengolah apa yang sudah ada, serta menembus batas, dan bukan sekadar
mempertahankannya. Drucker menyebutkan dua macam pemecahan masalah dalam
konteks organisasional, yaitu berbuat lebih baik, artinya menerima kerangka
lama dan berbuat beda, artinya menyimpang dari pola yang berlaku.
Teori adapsi-inovasi dari Kirton menjelaskan gaya kognitif
individu merupakan konstruk kepribadian. Pendapat diatas diperkuat oleh Guilford dan Kogan mengatakan bahwa sebagai
struktur interpersonal yang menjadi perantara stimulus dan respons dalam
menghasilkan karakteristik tipe perilaku, gaya kognitif sangat berkaitan dengan
sifat-sifat kepribadian. Para pakar wirausaha berpendapat bahwa aspek sifat
merupakan factor penting dalam keberhasilan wirausaha. Analisis teiretis
terhadap aspek-aspek sifat pada wirausaha yang dilakukan oleh Sukardi
mengidentifikasi Sembilan sifat unggul pada wirausaha, yaitu instrumental,
prestatif, keluwesan bergaul, kerja jeras, keyakinan diri, swakendali,
inovatif, dan mandiri. Penelitian-penelitian terdahulu
juga telah membuktikan bahwa gaya berpikir kognitif berkaitan dengan
pengukuran-pengukuran lain dari kepribadian. Menurut Minner, ada empat tipe
kepribadian wirausaha yang harus mengikuti jalan karier yang berbeda agar
mencapai sukses dalam usaha, yaitu:
a. The personel
achiever, yang akan sukses bila
mengikuti achieving routes
b. The
supersalesperson, yang akan
berhasil bila banyak menghabiskan waktunya untuk menjual dan
minta orang lain mengelola bisnisnya
c. The real manager, yang akan berhasil bila memulai usaha baru
d. The expert idea
generation, yang akan berhasil
bila terlibat dalam bisnis teknologi tinggi.
Tipe lain dari kepribadian yang
juga dikaitkan dengan keberhasilan dikemukakan oleh Stoltz. Menurut Stoltz,
keberhasilan dapat berarti seberapa jauh orang bergerak ke depan dan menanjak,
mengalami kemajuan misinya sepanjang hidup, menyingkirkan semua hambatan atau
bentuk-bentuk kemalangan lainnya. Stoltz membagi individu dalam tiga tipe,
yaitu:
a.
Individu tipe climber, memiliki ketahanan yang tinggi
dalam menghadapi rintangan
b.
Individu tipe champer, adalah orang yang mendaki pada
ketinggian tertentu dan berhenti karena ia sudah merasa puas dengan apa yang
sudah dicapai
c.
Individu tipe quiter, adalah orang yang mudah menyerah
bila menghadapi kegagalan.
Menurut Rogers&Shoemaker, keinovasian seseorang
berkaitan dengan adapsi-inovasi. Artinya, semakin inovatif sifat seseorang
semakin dia terbuka dan menerima inovasi. Higgins menciptakan satu instrumen
yang disebut Innovation Quotient berdasarkan konsep 7-S yang dapat digunakan
untuk mengukur inovasi produksi, inovasi proses, inovasi marketing, dan inovasi
manajemen. Konsep 7-S yaitu strategy(strategi), structure (struktur), system
(sistem), style leadership (gaya kepemimpinan), staff (karyawan), shared value
(nilai bersama = budaya perusahaan), dan skill (keterampilan). Gaya kognitif
dari Kirton ini juga relevan bila dikaitkan dengan inovasi organisasi, karena
teori adapsi-inovasi berkaitan dengan inovasi khusus.
Faktor yang dianggap mendukung
terjadinya inovasi pada suatu perusahaan adalah adanya proses organisasi
pembelajaran. Proses pembelajara mencerminkan adanya kemauan untk menanggapi
perubahan. Dengan demikian, akan selalu terjadi proses saling belajar. Tanpa
adanya proses organisasi pembelajaran, sulit bagi suatu usaha untuk bertahan
apalagi berkembang. Selain faktor organisasi pembelajaran, peran tenaga kerja
yang bekerja di usaha-usaha kecil tidak diabaikan bagi terciptanya inovasi
organisasi. Oleh sebab itu, hubungan yang baik antara atasan dan rekan kerja
juga perlu diperhitungkan pengaruhnya terhadap terciptanya inovasi organisasi
dan pada akhirnya berdampak pada keberhasilan usaha.
Dalam penelitian ini pengaruhnya relasi atasan
dengan bawahan, karisma atasan, dan relasi karyawan dengan rekan kerja. Karena
ada berbagai konsep yang akan ditelaah secara bersamaaan, pendekaatan
interaksionis yang dikembangkan oleh Schoenfeldt & Jansen akan digunakan
sebagai acuan dalam menyususn suatu model tentang keberhasilan usaha. Inti
pendekatan interaksionis adalah perilaku bisa dijelaskan dalam lintas tingkat
individu, kelompok, dan organisasi. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah
perilaku inovatif, inovasi organisasi, dan deografi wirausaha merupakan
variabel yang mendukung keberhasilan usaha. Akhirnya, siapa saja yang melakukan
penelitian wirausaha di Indonesia harus menyadari bahwa praktik berwirausaha di
Indonesia belum tentu sejalan dengan konsep teoretis yang ada. Hoftede (1982)
mengidentifikasi empat ciri menonjol dari budaya Asia, termasuk Indonesia,
yakni power distance yang tinggi, uncertamty avoidance yang rendah,
collectivism yang tinggi, serta feminincy. Dalam suatu kebudayaan yang
mengandung keempat ciri tersebut, upaya untuk menimbulkan perilaku berwirausaha
yang inovatif, akan menghadapi sejumlah kendala, antara lain rendahnya tingkat
kreativitas, rendahnya kepemimpinan, lemahnya manajemen, dan manajemen yang
tidak berorientasi sumber daya manusia.
B. PERMASALAHAN
PENELITIAN
Yang menjadi permasalahan umum
dalam penelitian ini adalah:
1.
Faktor apa saja yang menentukan keberhasilan usaha?
2.
Bagaimanakah jalur saling pengaruh antarvariabel perilaku
inovatif wirausaha, variabel manajemen inovasi, variabel umur, variabel pernah
tidaknya terlibat pengelolaan usaha sejenis, dan variabel tingkat pendidikan
terhadap keberhasilan usaha?
3.
Model seperti apakah yang akhirnya terciptanya dari
variabel-variabel yang terbukti memberi pengaruh yang signifikan pada
keberhasilan usaha?
4.
Apakah ada perbedaan dalam hal kelompok usia wirausaha,
kelompok tingkat keterlibatan mengelola usaha, dan kelompok tingkat pendidikan
wirausaha pada variabel-variabel yang diuji dalam penelitian ini?
5.
Apakah ada perbedaan dalam hal kelompok orientasi pasar,
strata berdasar omzet, jumlah karyawan, dan lokasi usaha pada variabel-variabel
yang diuji dalam penelitian ini?
C. TUJUAN DAN
MANFAAT PENELITIAN
1.
Mengetahui faktor-faktor apa saja yang memberi sumbangan
bermakna pada perilaku inovatif wirausaha, inovasi organisasi, dan keberhasilan
usaha skala kecil di Indonesia.
2.
Mengetahui jalur salingpengaruh antar variabel perilaku
inovatif wirausaha, variabel maajemen inovasi, variabel umur, variabel pernah
tidaknya terlibat pengelolaan usaha sejenis, dan variabel tingkat pendidikan
terhadap keberhasilan usaha.
3.
Menguji model teoretis tentang keberhasilan usaha serta
beberapa modifikasinya seperti yang diuraikan di dalam penelitian ini.
4.
Megetahui apakah ada perbedaan faktor demografi, perilaku
inovatif, inovasi organisasi, dan keberhasilan usaha pada kelompok wirausaha
yang berbeda usia, kelompok wirausaha yang berbeda tingkat keterlibatan me
ngelola usaha, dan kelompok wirausaha yang berbeda tingkat pendidikan.
5.
Mengetahui apakah ada perbedaan faktor demogafi, perilaku
inovatif, inovasi organisasi, dan keberhasilan usaha pada kelompok usaha yang
berbeda dalam hal strata berdasar omzet, kelompok usaha yang berbeda dalam hal
jumlah karyawan, dan kelompok usaha yang berbeda dalam hal lokasi usaha.
mbak kebetulan skripsi saya mengenai perilaku inovatif pada wirausaha, boleh enggak saya minta penelitian mbak dalam softcopi sebagai tambahan refrensi penelitian saya? terima kasih
BalasHapus