Home » » POLITIK PENDIDIKAN PENGARUH POLITIK TERHADAP KEBIJAKAN DALAM PENDIDIKAN AMRIANI HAMZAH 094304023 [Type the author name]   BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan segala sesuatu yang bersamaan dengan pertumbuhan, pendidikan sendiri tidak mempunyai tujuan akhir di balik dirinya. Definisi singkat ini dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan gejala insani yang fundamental dalam kehidupan manusia untuk mengantarkan anak manusia ke dalam peradaban yang berbudaya dan beretika . Usaha ini dapat dilakukan dengan bimbingan yang otentik dan eksistensial manusiawi agar anak mengenal jatidirinya, dapat bertahan hidup, mampu memiliki dan melanjutkan warisan sosial generasi terdahulu. Sesuai dengan dinamika sistem perkembangan peradaban, sistem pendidikan pun selalu dikonsepsikan ulang dan diinterpretasikan kembali setiap periode historis dan setiap orde politik tertentu. Hal ini juga berlaku pada anak didik, sehingga gerak, aliran, perubahan dan renovasi yang menjadi dimensi pokok pendidikan juga menuntut agar sistem pendidikan mampu beradaptasi terhadap kondisi zaman dengan keadaan politiknya. Maka menjadi sangat urgen untuk memahami pendidikan sebagai faktor politik untuk menstabilkan dan membangun Negara Indonesia baru yang dicita-citakan banyak orang adalah masyarakat baru yang disebut civil society. Hal ini berarti kekuasaan berada di tangan rakyat, ditentukan oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyat tidak lagi menjadi objek, tetapi sebagai subjek pelaku kekuasaan. Masyarakat madani hanya dapat terwujud jika masyarakat memperoleh pendidikan yang memadai sehingga masyarakat dapat memahami perannya dalam proses perubahan sosial secara kreatif-konstruktif untuk mencari bentuk sintetik baru secara tulus, damai sekaligus mencerahkan. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya dapat meningkatkan komitmennya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan berpihak pada proses pemberdayaan rakyat dengan memprioritaskan bidang pendidikan. Kesejahteraan rakyat seharusnya diartikan dengan semakin meningkatnya kualitas SDM yang terdidik agar mampu meningkatkan penghasilannya secara benar, mandiri dan kreatif. Ukuran kesejahteraan rakyat harus menyertakan indikator menguatnya etika sosial, kualitas partisipasi rakyat dalam politik, kreativitas budaya dan komitmen moralitas keagamaan dan kemanusiaan universal, tidak semata-mata menggunakan indikator ekonomi. Terkait dengan politik, ada anggapan negatif, skeptik dan sinis warga sehingga ada kecenderungan menghindari politik. Namun perlu dicatat beberapa hal: pertama, kita tidak dapat lepas dari politik, semua kegiatan mengandaikan kerangka negara dan masyarakat merupakan aktivitas politik. Kedua, berbagai kesulitan yang dihadapi seperti peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan dan pengembangan IPTEK tidak dapat dipecahkan tanpa politik, tetapi dengan transformasi politik sedemikian rupa sehingga memungkinkan membentuk dan mengorganisir kehidupan secara efektif. Ketiga, sikap sinis dan skeptik terhadap politik dapat dihindari dengan membangun kredibilitas, kelayakan model alternatif dan imaginatif institusi politik. Oleh karena itu, pendidikan sebagai salah satu faktor penentu dan indikator kemajuan suatu bangsa hendaknya menjadi tujuan pembangunan. Melalui pendidikan (politik) diharapkan para pelaku politik bisa lebih memahami posisi sekaligus tugas dan tanggung jawab yang diemban bagi kesejahteraan rakyat, dalam kondisi politik yang dinamis dan mendukung. Sehingga setiap orang yang berkecimpung di dunia politik menyadari hakikat berpolitik, dengan mengembangkan budaya dan etika politik yang bersih dan profesional. Pendidikan yang dimaksud meliputi segala aspek yang dapat memberikan pemahaman baru mengenai apa, untuk apa, bagi siapa sesuatu (kekuasaan) harus dicapai dan di pertahankan BAB II PEMBAHASAN A. Kondisi Politik “Pendidikan” Banyak pihak yang melihat pendidikan sebagai faktor dan kekuatan politik. Karena, pendidikan dan sekolah merupakan pencerminan dari kekuatan sosial politik yang tengah berkuasa, dan refleksi dari orde penguasa yang ada. Di samping itu pendidikan berlangsung dalam konteks politik dengan pengembangan sistem pendidikan yang dimasukkan ke dalam kerangka kebulatan kehidupan bangsa, ketahanan nasional dan politik NKRI. Lebih jauh lagi menyangkut policy, perencanaan, atribut edukasi, pelaksanaan, tujuan pendidikan, relasi struktural dengan lembaga non-edulatif lain, pembiayaan dan manajemen pendidikan, semuanya diputuskan berdasarkan konsensus dan keputusan politik pemerintah yang bersifat ¬non-edukatif. Contoh konkritnya adalah tujuan pendidikan yang intinya merupakan penjabaran dari filsafat negara dan tujuan politik negara RI yang hakekatnya merupakan realisasi keinginan dan keputusan para pemimpin yang berkuasa. Kondisi politik Indonesia dewasa ini dinilai masih dalam tataran belajar, terlebih bila dikaitkan dengan dunia pendidikan. Di satu sisi dunia pendidikan dikatakan sebagai faktor dan kekuatan politik, namun di sisi lain pelaku pendidikan dipatok untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Sehingga, dengan demikian pendidik dan dunia pendidikan secara umum cenderung dijadikan objek politisasi. Sementara anak negeri hampir hampa dengan pendidikan politik, padahal mereka perlu belajar dan sekaligus memahami berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negerinya. Kenyataannya dalam usia 64 tahun kemerdekaan Indonesia, dunia pendidikan masih terpasung kepentingan politik praktis dan ambiguitas kekuasaan. Padahal, politik dan kekuasaan suatu negara memegang kunci keberhasilan pendidikan. Dalam konteks pembangunan demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia, peran politik eksekutif dan legislatif untuk memajukan pendidikan begitu besar. Ranah politik dan kekuasaan harus mampu mewujudkan sistem pendidikan yang mencerdaskan dan mencerahkan peradaban bangsa ini. Paulo Freire pernah menegaskan bahwa bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pembangunan pendidikan. Freire memandang politik pendidikan memiliki nilai penting untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara. Bangsa yang politik pendidikannya buruk, maka kinerja pendidikannya pun pasti buruk. Sebaliknya, negara yang politik pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga akan bagus. Sampai saat ini, realitas politik pendidikan Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka. Hal ini bisa dilihat dari komitmen pemerintah yang masih rendah dalam mewujudkan akses dan pemerataan pendidikan dasar yang bebas biaya, belum terpenuhinya anggaran pendidikan sebesar 20%, kurangnya penghargaan terhadap profesionalisme dan kesejahteraan guru, rendahnya mutu dan daya saing pendidikan, upaya otonomi pendidikan yang masih setengah hati, dan sebagainya. Padahal pemerintah sebetulnya telah menetapkan Renstra Pendidikan tahun 2010–2014 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatkan perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan dan meningkatkan tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik. Pada saat yang sama, kesenjangan partisipasi pendidikan juga masih terjadi, terutama antara penduduk miskin dan penduduk kaya. Meski pemerintah telah menyediakan dana BOS, masih ditemukan beberapa sekolah yang masih menarik berbagai iuran, sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut terlihat makin mencolok pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Data 2008 menunjukkan bahwa APM SD/MI mencapai 95%, SMP/MTs sebesar 71,83%. Sementara itu, APK SMA/MA/SMK sebesar 55,22%, dan APK pendidikan tinggi hanya mencapai 16,70%. Sedangkan angka putus sekolah tingkat SD mencapai 2,97%, SMP 2,42%, SMA 3,06%, dan PT 5,9%. Kondisi ini diperparah dengan masih tingginya jumlah warga negara yang buta huruf, tercatat bahwa dari total penduduk sebanyak 211.063.000 jiwa, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki 5,8% dan perempuan 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan 4,9%, dan pedesaan 12,2%. Keadaan tersebut memberi gambaran mengenai realitas politik pendidikan di Indonesia yang belum merdeka dan tertinggal dari tuntutan daya saing global. Politik pendidikan kita belum mampu memberikan harapan konkrit atas kemajuan bangsa di masa depan. Karenanya perlu dilakukan penilaian ulang, revisi, pembaharuan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional, agar pendidikan lebih relevan dan lebih fungsional dengan tuntutan zaman. Untuk itu diperlukan good will politik, kebijakan dan praktek politik oleh pemerintah untuk mendukung pelaksanaannya. Dan akhirnya untuk menjabarkan filsafat Pancasila, filsafat pendidikan dan pelaksanaan pendidikan nasional ke dalam perilaku sosial dan perilaku edukatif yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah, jelas diperlukan kemauan politik, keputusan politik dan perbuatan politik secara konkrit. Untuk melaksanakan hal tersebut dibutuhkan politisi yang memahami urgensi politik bagi pendidikan dan politisi handal ini hanya mungkin didapat dari mereka yang pernah mengenyam pendidikan politik secara maksimal. B. Pendidikan Politik Pendidikan Politik, merupakan salah satu fungsi input sistem politik yang berlaku di negara manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Pendidikan politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada warganegara dimana keterlaksanaannya sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi dan kebudayaan di mana individu berada, selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman serta kepribadian seseorang. Disisi lain kegiatan ini juga dipandang sebagai proses yang ber¬langsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai dan sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima rangsangan politik yang akan menentukan bentuk etika politik seseorang yang berkembang berangsur-angsur. Jadi, pendidikan politik adalah proses dengan mana individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai dan sikap terhadap sistem politik masyarakat. Namun, peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi, sebab bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung keadaan yang menyebabkan pengingkaran. Apabila tidak ada legitimasi disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politik, maka perubahan mungkin terjadi. Sebaliknya, jika legitimasi dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politik, bukan tak mungkin menghasilkan stagnasi. Dengan demikian keberadaan pendidikan politik menjadi sangat urgen, karena (1) secara fundamental merupakan proses hasil belajar; (2) memberikan indikasi hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok yang berkenaan dengan pengetahuan, informasi, nilai dan sikap; (3) dapat dilakukan sepanjang hidup; dan (4) merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial yang secara implisit dan eksplisit memberikan penjelasan tingkah laku sosial. Perkembangan sosiologi politik pada dasarnya diawali pada masa kanak-kanak. Di AS, belajar politik dimulai usia 3 tahun dan menjadi mantap pada usia 7 tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik mencakup perkembangan dari ikatan lingkungan, seperti keterikatan pada sekolah dan berdiam di daerah tertentu, dengan demikian diharapkan mereka mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinya, kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol otoritas umum, seperti polisi, presiden dan bendera nasional. Usia 9 dan 10 tahun timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara, demokrasi, kebebasan sipil dan peran warganegara dalam sistem politik. Untuk mewujudkan pendidikan politik tersebut sedikitnya terdapat empat tahap yaitu (1) pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi; (2) perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah; (3) pengenalan mengenai institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemilu; dan (4) perkembangan pembedaan antara institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi ini. Tahapan pendidikan politik tersebut dapat dilakukan melalui keluarga, sekolah dan partai politik. Masalahnya adalah sosiologi politik dalam masyarakat berkembang dan berubah dengan cepat. Sifat pendidikan politik yang bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat pemerintahan dan derajat serta sifat perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi utama dari pendidikan politik. Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan, semakin tersebarlah agensi utama dari pendidikan politik. Dalam realitas kehidupan, pola pendidikan politik juga mengalami perubahan seperti berubahnya struktur dan kultur politik. Perubahan tersebut menyangkut perbedaan tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat yang beraneka ragam. Sehingga dikatakan bahwa pendidikan politik bisa bersifat manifes dan laten. Pendidikan politik yang bersifat manifes berlangsung dalam bentuk transmisi informasi, nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output mengenai sistem politik. Sedangkan, pendidikan politik laten berlangsung dalam bentuk transmisi informasi, nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output mengenai sistem sosial yang lain seperti keluarga. Membangun sebuah kultur demokratis dari pola pendidikan politik yang diterapkan dapat dilakukan dengan menggelar strategi kebudayaan. Konkretnya, membangun sistem pendidikan politik yang menjadikan prinsip kemandirian dan nalar publik sebagai pijakan konseptual, fokus pada penciptaan individu yang otonom dan kritis dalam daya pertimbangan. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan konsep pendidikan dengan menekankan pada proses learning to know, learing to do, learning to be and learning to live together. Menerapkan empat pilar tersebut dalam proses pendidikan politik berarti memungkinkan peserta didik dapat menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan berinteraksi secara aktif dengan sesama sehingga dapat menemukan dirinya. Proses strategi pedagogis ini tentu membidik target jangka panjang yang menentukan cerah-tidaknya masa depan demokrasi di negeri ini. Dengan demikian dapat dipahami bahwa peran pendidikan politik sangat diharapkan untuk membentuk karakter dan mental generasi muda untuk dapat melakukan transformasi budaya dalam upaya membina sistem dan kondisi politik yang kondusif. Suatu tuntutan yang pada hakekatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional, dengan mengedepankan budaya dan etika politik yang patut dibanggakan. C. Pengaruh Politik Terhadap Kebijakan Pendidikan Berkaca dari penyelenggaraan kampanye pemilu dan koalisi parpol, menunjukkan bahwa ada yang salah dalam peran yang dimainkan parpol dalam pendidikan politik. Fakta lebih menunjukkan bahwa sebagian parpol belum mampu melaksanakan fungsi dan perannya. Kebanyakan parpol belum memperjuangkan kepentingan konstituen tetapi lebih sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompok elite partai. Pada masa kampanye, parpol sibuk dengan aktivitas yang berorientasi pada penguatan citra dan sosialisasi untuk menarik massa. Pidato juru kampanye tak jarang meneriakkan janji-janji manis yang kadang sulit diterima akal sehat, namun disuarakan dengan lantang. Hiruk pikuk dalam koalisi parpol dalam pemilu 2009 menunjukkan bahwa para elit tidak sedikitpun melibatkan rakyat pemilih ( konstituen), apalagi memikirkan program untuk rakyat. Padahal konstituen sebelumnya telah berpartisipasi menggunakan hak pilihnya untuk perolehan suara parpol. Pembicaraan mengenai parpol menjelang pemilu presiden bahkan tidak berdasarkan platform, agenda pemerintahan, serta ideologi yang semestinya menjadi tuntutan dasar. Implikasinya adalah pragmatisme yang tertanam kuat di benak konstituen, dan dikhawatirkan masyarakat akan ikut berperilaku pragmatis dalam memilih. Koalisi hanya mengarah pada persoalan pembagian kekuasaan ( sharing of power) dan jabatan. Padahal harus ada visi dan program membangun bangsa keluar dari permasalahan dan meletakkan dasar supaya Indonesia lebih maju sesuai RPJPN. Karena berubahnya sistem politik nasional dan tidak adanya Garis-Garis Besar Haluan Negara yang mengikat seperti dulu, tidak lantas berarti bahwa bangsa Indonesia tidak peduli dengan visi maupun rencana jangka panjang. Mestinya setiap elit politik harus menjadikan RJPJN sebagai pedoman perumusan visi misi serta program capres dan cawapres yang akan diusung oleh koalisi parpol. Parpol juga harus melakukan pendidikan politik bagi kader-kadernya yang akan diantarkan menjadi pejabat publik atau wakil rakyat. Namun dalam realitas, para elit politik tidak kelihatan memberi contoh yang dapat menjadi pendidikan politik bagi masyarakat luas. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku para elit politik yang tidak menunjukkan cara berpikir jernih, sikap dan tingkah laku yang matang dan dewasa secara mental, kultural dan intelektual, dan taat pada hukum serta berbagai peraturan. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kondisi real politik dan politik pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya merdeka dan tertinggal dari tuntutan daya saing global, belum mampu memberikan harapan konkrit atas kemajuan bangsa di masa depan. Pendidikan politik diharapkan mampu membentuk karakter dan mental generasi muda agar dapat melakukan transformasi budaya dalam upaya membina sistem dan kondisi politik yang kondusif dengan mengedepankan budaya dan etika politik yang patut dibanggakan. Perlu dilakukan penilaian ulang, revisi, pembaharuan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional, agar pendidikan lebih relevan dan lebih fungsional dengan tuntutan zaman. Mengembangkan pendidikan yang tidak hanya menjadi banking-process, namun menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, humanis, tidak antirealitas, mengutamakan proses, penyelarasan hak dan tanggungjawab. Melaksanakan kembali pendidikan budi pekerti yang merupakan pondasi bagi pelaksanaan civic education agar tercipta generasi yang tidak hanya mau menjadi politisi namun paham budaya dan etika politik. Pengertian pendidikan politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi politik pada individu, meliputi keyakinan konsep yang memiliki muatan politis, loyalitas dan perasaan politik, serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik. Pendidikan politik dalam masyarakat manapun harus memiliki institusi dan perangkat yang menopangnya. Yang paling mendasar adalah keluarga, institusi pendidikan, partai politik, pers dan masyarakat luas Parpol harus melakukan pendidikan politik bagi kader-kadernya yang akan diantarkan menjadi pejabat publik atau wakil rakyat. Namun dalam realitas, para elit politik tidak kelihatan memberi contoh yang dapat menjadi pendidikan politik bagi masyarakat luas. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku para elit politik yang tidak menunjukkan cara berpikir jernih, sikap dan tingkah laku yang matang dan dewasa secara mental, kultural dan intelektual, dan taat pada hukum serta berbagai peraturan.

POLITIK PENDIDIKAN PENGARUH POLITIK TERHADAP KEBIJAKAN DALAM PENDIDIKAN AMRIANI HAMZAH 094304023 [Type the author name]   BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan segala sesuatu yang bersamaan dengan pertumbuhan, pendidikan sendiri tidak mempunyai tujuan akhir di balik dirinya. Definisi singkat ini dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan gejala insani yang fundamental dalam kehidupan manusia untuk mengantarkan anak manusia ke dalam peradaban yang berbudaya dan beretika . Usaha ini dapat dilakukan dengan bimbingan yang otentik dan eksistensial manusiawi agar anak mengenal jatidirinya, dapat bertahan hidup, mampu memiliki dan melanjutkan warisan sosial generasi terdahulu. Sesuai dengan dinamika sistem perkembangan peradaban, sistem pendidikan pun selalu dikonsepsikan ulang dan diinterpretasikan kembali setiap periode historis dan setiap orde politik tertentu. Hal ini juga berlaku pada anak didik, sehingga gerak, aliran, perubahan dan renovasi yang menjadi dimensi pokok pendidikan juga menuntut agar sistem pendidikan mampu beradaptasi terhadap kondisi zaman dengan keadaan politiknya. Maka menjadi sangat urgen untuk memahami pendidikan sebagai faktor politik untuk menstabilkan dan membangun Negara Indonesia baru yang dicita-citakan banyak orang adalah masyarakat baru yang disebut civil society. Hal ini berarti kekuasaan berada di tangan rakyat, ditentukan oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyat tidak lagi menjadi objek, tetapi sebagai subjek pelaku kekuasaan. Masyarakat madani hanya dapat terwujud jika masyarakat memperoleh pendidikan yang memadai sehingga masyarakat dapat memahami perannya dalam proses perubahan sosial secara kreatif-konstruktif untuk mencari bentuk sintetik baru secara tulus, damai sekaligus mencerahkan. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya dapat meningkatkan komitmennya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan berpihak pada proses pemberdayaan rakyat dengan memprioritaskan bidang pendidikan. Kesejahteraan rakyat seharusnya diartikan dengan semakin meningkatnya kualitas SDM yang terdidik agar mampu meningkatkan penghasilannya secara benar, mandiri dan kreatif. Ukuran kesejahteraan rakyat harus menyertakan indikator menguatnya etika sosial, kualitas partisipasi rakyat dalam politik, kreativitas budaya dan komitmen moralitas keagamaan dan kemanusiaan universal, tidak semata-mata menggunakan indikator ekonomi. Terkait dengan politik, ada anggapan negatif, skeptik dan sinis warga sehingga ada kecenderungan menghindari politik. Namun perlu dicatat beberapa hal: pertama, kita tidak dapat lepas dari politik, semua kegiatan mengandaikan kerangka negara dan masyarakat merupakan aktivitas politik. Kedua, berbagai kesulitan yang dihadapi seperti peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan dan pengembangan IPTEK tidak dapat dipecahkan tanpa politik, tetapi dengan transformasi politik sedemikian rupa sehingga memungkinkan membentuk dan mengorganisir kehidupan secara efektif. Ketiga, sikap sinis dan skeptik terhadap politik dapat dihindari dengan membangun kredibilitas, kelayakan model alternatif dan imaginatif institusi politik. Oleh karena itu, pendidikan sebagai salah satu faktor penentu dan indikator kemajuan suatu bangsa hendaknya menjadi tujuan pembangunan. Melalui pendidikan (politik) diharapkan para pelaku politik bisa lebih memahami posisi sekaligus tugas dan tanggung jawab yang diemban bagi kesejahteraan rakyat, dalam kondisi politik yang dinamis dan mendukung. Sehingga setiap orang yang berkecimpung di dunia politik menyadari hakikat berpolitik, dengan mengembangkan budaya dan etika politik yang bersih dan profesional. Pendidikan yang dimaksud meliputi segala aspek yang dapat memberikan pemahaman baru mengenai apa, untuk apa, bagi siapa sesuatu (kekuasaan) harus dicapai dan di pertahankan BAB II PEMBAHASAN A. Kondisi Politik “Pendidikan” Banyak pihak yang melihat pendidikan sebagai faktor dan kekuatan politik. Karena, pendidikan dan sekolah merupakan pencerminan dari kekuatan sosial politik yang tengah berkuasa, dan refleksi dari orde penguasa yang ada. Di samping itu pendidikan berlangsung dalam konteks politik dengan pengembangan sistem pendidikan yang dimasukkan ke dalam kerangka kebulatan kehidupan bangsa, ketahanan nasional dan politik NKRI. Lebih jauh lagi menyangkut policy, perencanaan, atribut edukasi, pelaksanaan, tujuan pendidikan, relasi struktural dengan lembaga non-edulatif lain, pembiayaan dan manajemen pendidikan, semuanya diputuskan berdasarkan konsensus dan keputusan politik pemerintah yang bersifat ¬non-edukatif. Contoh konkritnya adalah tujuan pendidikan yang intinya merupakan penjabaran dari filsafat negara dan tujuan politik negara RI yang hakekatnya merupakan realisasi keinginan dan keputusan para pemimpin yang berkuasa. Kondisi politik Indonesia dewasa ini dinilai masih dalam tataran belajar, terlebih bila dikaitkan dengan dunia pendidikan. Di satu sisi dunia pendidikan dikatakan sebagai faktor dan kekuatan politik, namun di sisi lain pelaku pendidikan dipatok untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Sehingga, dengan demikian pendidik dan dunia pendidikan secara umum cenderung dijadikan objek politisasi. Sementara anak negeri hampir hampa dengan pendidikan politik, padahal mereka perlu belajar dan sekaligus memahami berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negerinya. Kenyataannya dalam usia 64 tahun kemerdekaan Indonesia, dunia pendidikan masih terpasung kepentingan politik praktis dan ambiguitas kekuasaan. Padahal, politik dan kekuasaan suatu negara memegang kunci keberhasilan pendidikan. Dalam konteks pembangunan demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia, peran politik eksekutif dan legislatif untuk memajukan pendidikan begitu besar. Ranah politik dan kekuasaan harus mampu mewujudkan sistem pendidikan yang mencerdaskan dan mencerahkan peradaban bangsa ini. Paulo Freire pernah menegaskan bahwa bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pembangunan pendidikan. Freire memandang politik pendidikan memiliki nilai penting untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara. Bangsa yang politik pendidikannya buruk, maka kinerja pendidikannya pun pasti buruk. Sebaliknya, negara yang politik pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga akan bagus. Sampai saat ini, realitas politik pendidikan Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka. Hal ini bisa dilihat dari komitmen pemerintah yang masih rendah dalam mewujudkan akses dan pemerataan pendidikan dasar yang bebas biaya, belum terpenuhinya anggaran pendidikan sebesar 20%, kurangnya penghargaan terhadap profesionalisme dan kesejahteraan guru, rendahnya mutu dan daya saing pendidikan, upaya otonomi pendidikan yang masih setengah hati, dan sebagainya. Padahal pemerintah sebetulnya telah menetapkan Renstra Pendidikan tahun 2010–2014 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatkan perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan dan meningkatkan tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik. Pada saat yang sama, kesenjangan partisipasi pendidikan juga masih terjadi, terutama antara penduduk miskin dan penduduk kaya. Meski pemerintah telah menyediakan dana BOS, masih ditemukan beberapa sekolah yang masih menarik berbagai iuran, sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut terlihat makin mencolok pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Data 2008 menunjukkan bahwa APM SD/MI mencapai 95%, SMP/MTs sebesar 71,83%. Sementara itu, APK SMA/MA/SMK sebesar 55,22%, dan APK pendidikan tinggi hanya mencapai 16,70%. Sedangkan angka putus sekolah tingkat SD mencapai 2,97%, SMP 2,42%, SMA 3,06%, dan PT 5,9%. Kondisi ini diperparah dengan masih tingginya jumlah warga negara yang buta huruf, tercatat bahwa dari total penduduk sebanyak 211.063.000 jiwa, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki 5,8% dan perempuan 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan 4,9%, dan pedesaan 12,2%. Keadaan tersebut memberi gambaran mengenai realitas politik pendidikan di Indonesia yang belum merdeka dan tertinggal dari tuntutan daya saing global. Politik pendidikan kita belum mampu memberikan harapan konkrit atas kemajuan bangsa di masa depan. Karenanya perlu dilakukan penilaian ulang, revisi, pembaharuan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional, agar pendidikan lebih relevan dan lebih fungsional dengan tuntutan zaman. Untuk itu diperlukan good will politik, kebijakan dan praktek politik oleh pemerintah untuk mendukung pelaksanaannya. Dan akhirnya untuk menjabarkan filsafat Pancasila, filsafat pendidikan dan pelaksanaan pendidikan nasional ke dalam perilaku sosial dan perilaku edukatif yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah, jelas diperlukan kemauan politik, keputusan politik dan perbuatan politik secara konkrit. Untuk melaksanakan hal tersebut dibutuhkan politisi yang memahami urgensi politik bagi pendidikan dan politisi handal ini hanya mungkin didapat dari mereka yang pernah mengenyam pendidikan politik secara maksimal. B. Pendidikan Politik Pendidikan Politik, merupakan salah satu fungsi input sistem politik yang berlaku di negara manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Pendidikan politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada warganegara dimana keterlaksanaannya sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi dan kebudayaan di mana individu berada, selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman serta kepribadian seseorang. Disisi lain kegiatan ini juga dipandang sebagai proses yang ber¬langsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai dan sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima rangsangan politik yang akan menentukan bentuk etika politik seseorang yang berkembang berangsur-angsur. Jadi, pendidikan politik adalah proses dengan mana individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai dan sikap terhadap sistem politik masyarakat. Namun, peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi, sebab bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung keadaan yang menyebabkan pengingkaran. Apabila tidak ada legitimasi disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politik, maka perubahan mungkin terjadi. Sebaliknya, jika legitimasi dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politik, bukan tak mungkin menghasilkan stagnasi. Dengan demikian keberadaan pendidikan politik menjadi sangat urgen, karena (1) secara fundamental merupakan proses hasil belajar; (2) memberikan indikasi hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok yang berkenaan dengan pengetahuan, informasi, nilai dan sikap; (3) dapat dilakukan sepanjang hidup; dan (4) merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial yang secara implisit dan eksplisit memberikan penjelasan tingkah laku sosial. Perkembangan sosiologi politik pada dasarnya diawali pada masa kanak-kanak. Di AS, belajar politik dimulai usia 3 tahun dan menjadi mantap pada usia 7 tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik mencakup perkembangan dari ikatan lingkungan, seperti keterikatan pada sekolah dan berdiam di daerah tertentu, dengan demikian diharapkan mereka mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinya, kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol otoritas umum, seperti polisi, presiden dan bendera nasional. Usia 9 dan 10 tahun timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara, demokrasi, kebebasan sipil dan peran warganegara dalam sistem politik. Untuk mewujudkan pendidikan politik tersebut sedikitnya terdapat empat tahap yaitu (1) pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi; (2) perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah; (3) pengenalan mengenai institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemilu; dan (4) perkembangan pembedaan antara institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi ini. Tahapan pendidikan politik tersebut dapat dilakukan melalui keluarga, sekolah dan partai politik. Masalahnya adalah sosiologi politik dalam masyarakat berkembang dan berubah dengan cepat. Sifat pendidikan politik yang bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat pemerintahan dan derajat serta sifat perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi utama dari pendidikan politik. Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan, semakin tersebarlah agensi utama dari pendidikan politik. Dalam realitas kehidupan, pola pendidikan politik juga mengalami perubahan seperti berubahnya struktur dan kultur politik. Perubahan tersebut menyangkut perbedaan tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat yang beraneka ragam. Sehingga dikatakan bahwa pendidikan politik bisa bersifat manifes dan laten. Pendidikan politik yang bersifat manifes berlangsung dalam bentuk transmisi informasi, nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output mengenai sistem politik. Sedangkan, pendidikan politik laten berlangsung dalam bentuk transmisi informasi, nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output mengenai sistem sosial yang lain seperti keluarga. Membangun sebuah kultur demokratis dari pola pendidikan politik yang diterapkan dapat dilakukan dengan menggelar strategi kebudayaan. Konkretnya, membangun sistem pendidikan politik yang menjadikan prinsip kemandirian dan nalar publik sebagai pijakan konseptual, fokus pada penciptaan individu yang otonom dan kritis dalam daya pertimbangan. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan konsep pendidikan dengan menekankan pada proses learning to know, learing to do, learning to be and learning to live together. Menerapkan empat pilar tersebut dalam proses pendidikan politik berarti memungkinkan peserta didik dapat menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan berinteraksi secara aktif dengan sesama sehingga dapat menemukan dirinya. Proses strategi pedagogis ini tentu membidik target jangka panjang yang menentukan cerah-tidaknya masa depan demokrasi di negeri ini. Dengan demikian dapat dipahami bahwa peran pendidikan politik sangat diharapkan untuk membentuk karakter dan mental generasi muda untuk dapat melakukan transformasi budaya dalam upaya membina sistem dan kondisi politik yang kondusif. Suatu tuntutan yang pada hakekatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional, dengan mengedepankan budaya dan etika politik yang patut dibanggakan. C. Pengaruh Politik Terhadap Kebijakan Pendidikan Berkaca dari penyelenggaraan kampanye pemilu dan koalisi parpol, menunjukkan bahwa ada yang salah dalam peran yang dimainkan parpol dalam pendidikan politik. Fakta lebih menunjukkan bahwa sebagian parpol belum mampu melaksanakan fungsi dan perannya. Kebanyakan parpol belum memperjuangkan kepentingan konstituen tetapi lebih sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompok elite partai. Pada masa kampanye, parpol sibuk dengan aktivitas yang berorientasi pada penguatan citra dan sosialisasi untuk menarik massa. Pidato juru kampanye tak jarang meneriakkan janji-janji manis yang kadang sulit diterima akal sehat, namun disuarakan dengan lantang. Hiruk pikuk dalam koalisi parpol dalam pemilu 2009 menunjukkan bahwa para elit tidak sedikitpun melibatkan rakyat pemilih ( konstituen), apalagi memikirkan program untuk rakyat. Padahal konstituen sebelumnya telah berpartisipasi menggunakan hak pilihnya untuk perolehan suara parpol. Pembicaraan mengenai parpol menjelang pemilu presiden bahkan tidak berdasarkan platform, agenda pemerintahan, serta ideologi yang semestinya menjadi tuntutan dasar. Implikasinya adalah pragmatisme yang tertanam kuat di benak konstituen, dan dikhawatirkan masyarakat akan ikut berperilaku pragmatis dalam memilih. Koalisi hanya mengarah pada persoalan pembagian kekuasaan ( sharing of power) dan jabatan. Padahal harus ada visi dan program membangun bangsa keluar dari permasalahan dan meletakkan dasar supaya Indonesia lebih maju sesuai RPJPN. Karena berubahnya sistem politik nasional dan tidak adanya Garis-Garis Besar Haluan Negara yang mengikat seperti dulu, tidak lantas berarti bahwa bangsa Indonesia tidak peduli dengan visi maupun rencana jangka panjang. Mestinya setiap elit politik harus menjadikan RJPJN sebagai pedoman perumusan visi misi serta program capres dan cawapres yang akan diusung oleh koalisi parpol. Parpol juga harus melakukan pendidikan politik bagi kader-kadernya yang akan diantarkan menjadi pejabat publik atau wakil rakyat. Namun dalam realitas, para elit politik tidak kelihatan memberi contoh yang dapat menjadi pendidikan politik bagi masyarakat luas. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku para elit politik yang tidak menunjukkan cara berpikir jernih, sikap dan tingkah laku yang matang dan dewasa secara mental, kultural dan intelektual, dan taat pada hukum serta berbagai peraturan. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kondisi real politik dan politik pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya merdeka dan tertinggal dari tuntutan daya saing global, belum mampu memberikan harapan konkrit atas kemajuan bangsa di masa depan. Pendidikan politik diharapkan mampu membentuk karakter dan mental generasi muda agar dapat melakukan transformasi budaya dalam upaya membina sistem dan kondisi politik yang kondusif dengan mengedepankan budaya dan etika politik yang patut dibanggakan. Perlu dilakukan penilaian ulang, revisi, pembaharuan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional, agar pendidikan lebih relevan dan lebih fungsional dengan tuntutan zaman. Mengembangkan pendidikan yang tidak hanya menjadi banking-process, namun menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, humanis, tidak antirealitas, mengutamakan proses, penyelarasan hak dan tanggungjawab. Melaksanakan kembali pendidikan budi pekerti yang merupakan pondasi bagi pelaksanaan civic education agar tercipta generasi yang tidak hanya mau menjadi politisi namun paham budaya dan etika politik. Pengertian pendidikan politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi politik pada individu, meliputi keyakinan konsep yang memiliki muatan politis, loyalitas dan perasaan politik, serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik. Pendidikan politik dalam masyarakat manapun harus memiliki institusi dan perangkat yang menopangnya. Yang paling mendasar adalah keluarga, institusi pendidikan, partai politik, pers dan masyarakat luas Parpol harus melakukan pendidikan politik bagi kader-kadernya yang akan diantarkan menjadi pejabat publik atau wakil rakyat. Namun dalam realitas, para elit politik tidak kelihatan memberi contoh yang dapat menjadi pendidikan politik bagi masyarakat luas. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku para elit politik yang tidak menunjukkan cara berpikir jernih, sikap dan tingkah laku yang matang dan dewasa secara mental, kultural dan intelektual, dan taat pada hukum serta berbagai peraturan.

Written By Unknown on Senin, 28 Januari 2013 | 18.53

POLITIK PENDIDIKAN
PENGARUH POLITIK TERHADAP KEBIJAKAN DALAM PENDIDIKAN

AMRIANI HAMZAH  094304023

[Type the author name]




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
 Pendidikan merupakan segala sesuatu yang bersamaan dengan pertumbuhan, pendidikan sendiri tidak mempunyai tujuan akhir di balik dirinya. Definisi singkat ini dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan gejala insani yang fundamental dalam kehidupan manusia untuk mengantarkan anak manusia ke dalam peradaban yang berbudaya dan beretika . Usaha ini dapat dilakukan dengan bimbingan yang otentik dan eksistensial manusiawi agar anak mengenal jatidirinya, dapat bertahan hidup, mampu memiliki dan melanjutkan warisan sosial generasi terdahulu. Sesuai dengan dinamika sistem perkembangan peradaban, sistem pendidikan pun selalu dikonsepsikan ulang dan diinterpretasikan kembali setiap periode historis dan setiap orde politik tertentu. Hal ini juga berlaku pada anak didik, sehingga gerak, aliran, perubahan dan renovasi yang menjadi dimensi pokok pendidikan juga menuntut agar sistem pendidikan mampu beradaptasi terhadap kondisi zaman dengan keadaan politiknya. Maka menjadi sangat urgen untuk memahami pendidikan sebagai faktor politik untuk menstabilkan dan membangun Negara
Indonesia baru yang dicita-citakan banyak orang adalah masyarakat baru yang disebut civil society. Hal ini berarti kekuasaan berada di tangan rakyat, ditentukan oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyat tidak lagi menjadi objek, tetapi sebagai subjek pelaku kekuasaan. Masyarakat madani hanya dapat terwujud jika masyarakat memperoleh pendidikan yang memadai sehingga masyarakat dapat memahami perannya dalam proses perubahan sosial secara kreatif-konstruktif untuk mencari bentuk sintetik baru secara tulus, damai sekaligus mencerahkan. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya dapat meningkatkan komitmennya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan berpihak pada proses pemberdayaan rakyat dengan memprioritaskan bidang pendidikan. Kesejahteraan rakyat seharusnya diartikan dengan semakin meningkatnya kualitas SDM yang terdidik agar mampu meningkatkan penghasilannya secara benar, mandiri dan kreatif. Ukuran kesejahteraan rakyat harus menyertakan indikator menguatnya etika sosial, kualitas partisipasi rakyat dalam politik, kreativitas budaya dan komitmen moralitas keagamaan dan kemanusiaan universal, tidak semata-mata menggunakan indikator ekonomi.
Terkait dengan politik, ada anggapan negatif, skeptik dan sinis warga sehingga ada kecenderungan menghindari politik. Namun perlu dicatat beberapa hal: pertama, kita tidak dapat lepas dari politik, semua kegiatan mengandaikan kerangka negara dan masyarakat merupakan aktivitas politik. Kedua, berbagai kesulitan yang dihadapi seperti peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan dan pengembangan IPTEK tidak dapat dipecahkan tanpa politik, tetapi dengan transformasi politik sedemikian rupa sehingga memungkinkan membentuk dan mengorganisir kehidupan secara efektif. Ketiga, sikap sinis dan skeptik terhadap politik dapat dihindari dengan membangun kredibilitas, kelayakan model alternatif dan imaginatif institusi politik.
Oleh karena itu, pendidikan sebagai salah satu faktor penentu dan indikator kemajuan suatu bangsa hendaknya menjadi tujuan pembangunan. Melalui pendidikan (politik) diharapkan para pelaku politik bisa lebih memahami posisi sekaligus tugas dan tanggung jawab yang diemban bagi kesejahteraan rakyat, dalam kondisi politik yang dinamis dan mendukung. Sehingga setiap orang yang berkecimpung di dunia politik menyadari hakikat berpolitik, dengan mengembangkan budaya dan etika politik yang bersih dan profesional. Pendidikan yang dimaksud meliputi segala aspek yang dapat memberikan pemahaman baru mengenai apa, untuk apa, bagi siapa sesuatu (kekuasaan) harus dicapai dan di pertahankan












BAB II
PEMBAHASAN

A. Kondisi Politik “Pendidikan”
Banyak pihak yang melihat pendidikan sebagai faktor dan kekuatan politik. Karena, pendidikan dan sekolah merupakan pencerminan dari kekuatan sosial politik yang tengah berkuasa, dan refleksi dari orde penguasa yang ada. Di samping itu pendidikan berlangsung dalam konteks politik dengan pengembangan sistem pendidikan yang dimasukkan ke dalam kerangka kebulatan kehidupan bangsa, ketahanan nasional dan politik NKRI. Lebih jauh lagi menyangkut policy, perencanaan, atribut edukasi, pelaksanaan, tujuan pendidikan, relasi struktural dengan lembaga non-edulatif lain, pembiayaan dan manajemen pendidikan, semuanya diputuskan berdasarkan konsensus dan keputusan politik pemerintah yang bersifat ¬non-edukatif. Contoh konkritnya adalah tujuan pendidikan yang intinya merupakan penjabaran dari filsafat negara dan tujuan politik negara RI yang hakekatnya merupakan realisasi keinginan dan keputusan para pemimpin yang berkuasa.
Kondisi politik Indonesia dewasa ini dinilai masih dalam tataran belajar, terlebih bila dikaitkan dengan dunia pendidikan. Di satu sisi dunia pendidikan dikatakan sebagai faktor dan kekuatan politik, namun di sisi lain pelaku pendidikan dipatok untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Sehingga, dengan demikian pendidik dan dunia pendidikan secara umum cenderung dijadikan objek politisasi. Sementara anak negeri hampir hampa dengan pendidikan politik, padahal mereka perlu belajar dan sekaligus memahami berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negerinya. Kenyataannya dalam usia 64 tahun kemerdekaan Indonesia, dunia pendidikan masih terpasung kepentingan politik praktis dan ambiguitas kekuasaan. Padahal, politik dan kekuasaan suatu negara memegang kunci keberhasilan pendidikan. Dalam konteks pembangunan demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia, peran politik eksekutif dan legislatif untuk memajukan pendidikan begitu besar. Ranah politik dan kekuasaan harus mampu mewujudkan sistem pendidikan yang mencerdaskan dan mencerahkan peradaban bangsa ini.
Paulo Freire pernah menegaskan bahwa bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pembangunan pendidikan. Freire memandang politik pendidikan memiliki nilai penting untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara. Bangsa yang politik pendidikannya buruk, maka kinerja pendidikannya pun pasti buruk. Sebaliknya, negara yang politik pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga akan bagus.
Sampai saat ini, realitas politik pendidikan Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka. Hal ini bisa dilihat dari komitmen pemerintah yang masih rendah dalam mewujudkan akses dan pemerataan pendidikan dasar yang bebas biaya, belum terpenuhinya anggaran pendidikan sebesar 20%, kurangnya penghargaan terhadap profesionalisme dan kesejahteraan guru, rendahnya mutu dan daya saing pendidikan, upaya otonomi pendidikan yang masih setengah hati, dan sebagainya. Padahal pemerintah sebetulnya telah menetapkan Renstra Pendidikan tahun 2010–2014 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatkan perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan dan meningkatkan tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik.
Pada saat yang sama, kesenjangan partisipasi pendidikan juga masih terjadi, terutama antara penduduk miskin dan penduduk kaya. Meski pemerintah telah menyediakan dana BOS, masih ditemukan beberapa sekolah yang masih menarik berbagai iuran, sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut terlihat makin mencolok pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Data 2008 menunjukkan bahwa APM SD/MI mencapai 95%, SMP/MTs sebesar 71,83%. Sementara itu, APK SMA/MA/SMK sebesar 55,22%, dan APK pendidikan tinggi hanya mencapai 16,70%. Sedangkan angka putus sekolah tingkat SD mencapai 2,97%, SMP 2,42%, SMA 3,06%, dan PT 5,9%. Kondisi ini diperparah dengan masih tingginya jumlah warga negara yang buta huruf, tercatat bahwa dari total penduduk sebanyak 211.063.000 jiwa, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki 5,8% dan perempuan 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan 4,9%, dan pedesaan 12,2%.
Keadaan tersebut memberi gambaran mengenai realitas politik pendidikan di Indonesia yang belum merdeka dan tertinggal dari tuntutan daya saing global. Politik pendidikan kita belum mampu memberikan harapan konkrit atas kemajuan bangsa di masa depan. Karenanya perlu dilakukan penilaian ulang, revisi, pembaharuan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional, agar pendidikan lebih relevan dan lebih fungsional dengan tuntutan zaman. Untuk itu diperlukan good will politik, kebijakan dan praktek politik oleh pemerintah untuk mendukung pelaksanaannya. Dan akhirnya untuk menjabarkan filsafat Pancasila, filsafat pendidikan dan pelaksanaan pendidikan nasional ke dalam perilaku sosial dan perilaku edukatif yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah, jelas diperlukan kemauan politik, keputusan politik dan perbuatan politik secara konkrit. Untuk melaksanakan hal tersebut dibutuhkan politisi yang memahami urgensi politik bagi pendidikan dan politisi handal ini hanya mungkin didapat dari mereka yang pernah mengenyam pendidikan politik secara maksimal.

B. Pendidikan Politik        
Pendidikan Politik, merupakan salah satu fungsi input sistem politik yang berlaku di negara manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Pendidikan politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada warganegara dimana keterlaksanaannya sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi dan kebudayaan di mana individu berada, selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman serta kepribadian seseorang. Disisi lain kegiatan ini juga dipandang sebagai proses yang ber¬langsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai dan sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima rangsangan politik yang akan menentukan bentuk etika politik seseorang yang berkembang berangsur-angsur.
Jadi, pendidikan politik adalah proses dengan mana individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai dan sikap terhadap sistem politik masyarakat. Namun, peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi, sebab bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung keadaan yang menyebabkan pengingkaran. Apabila tidak ada legitimasi disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politik, maka perubahan mungkin terjadi. Sebaliknya, jika legitimasi dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politik, bukan tak mungkin menghasilkan stagnasi. Dengan demikian keberadaan pendidikan politik menjadi sangat urgen, karena (1) secara fundamental merupakan proses hasil belajar; (2) memberikan indikasi hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok yang berkenaan dengan pengetahuan, informasi, nilai dan sikap; (3) dapat dilakukan sepanjang hidup; dan (4) merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial yang secara implisit dan eksplisit memberikan penjelasan tingkah laku sosial.
Perkembangan sosiologi politik pada dasarnya diawali pada masa kanak-kanak. Di AS, belajar politik dimulai usia 3 tahun dan menjadi mantap pada usia 7 tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik mencakup perkembangan dari ikatan lingkungan, seperti keterikatan pada sekolah dan berdiam di daerah tertentu, dengan demikian diharapkan mereka mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinya, kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol otoritas umum, seperti polisi, presiden dan bendera nasional. Usia 9 dan 10 tahun timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara, demokrasi, kebebasan sipil dan peran warganegara dalam sistem politik. Untuk mewujudkan pendidikan politik tersebut sedikitnya terdapat empat tahap yaitu (1) pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi; (2) perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah; (3) pengenalan mengenai institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemilu; dan (4) perkembangan pembedaan antara institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi ini.
Tahapan pendidikan politik tersebut dapat dilakukan melalui keluarga, sekolah dan partai politik. Masalahnya adalah sosiologi politik dalam masyarakat berkembang dan berubah dengan cepat. Sifat pendidikan politik yang bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat pemerintahan dan derajat serta sifat perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi utama dari pendidikan politik. Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan, semakin tersebarlah agensi utama dari pendidikan politik.
Dalam realitas kehidupan, pola pendidikan politik juga mengalami perubahan seperti berubahnya struktur dan kultur politik. Perubahan tersebut menyangkut perbedaan tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat yang beraneka ragam. Sehingga dikatakan bahwa pendidikan politik bisa bersifat manifes dan laten. Pendidikan politik yang bersifat manifes berlangsung dalam bentuk transmisi informasi, nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output mengenai sistem politik. Sedangkan, pendidikan politik laten berlangsung dalam bentuk transmisi informasi, nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output mengenai sistem sosial yang lain seperti keluarga.
Membangun sebuah kultur demokratis dari pola pendidikan politik yang diterapkan dapat dilakukan dengan menggelar strategi kebudayaan. Konkretnya, membangun sistem pendidikan politik yang menjadikan prinsip kemandirian dan nalar publik sebagai pijakan konseptual, fokus pada penciptaan individu yang otonom dan kritis dalam daya pertimbangan. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan konsep pendidikan dengan menekankan pada proses learning to know, learing to do, learning to be and learning to live together. Menerapkan empat pilar tersebut dalam proses pendidikan politik berarti memungkinkan peserta didik dapat menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan berinteraksi secara aktif dengan sesama sehingga dapat menemukan dirinya. Proses strategi pedagogis ini tentu membidik target jangka panjang yang menentukan cerah-tidaknya masa depan demokrasi di negeri ini.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa peran pendidikan politik sangat diharapkan untuk membentuk karakter dan mental generasi muda untuk dapat melakukan transformasi budaya dalam upaya membina sistem dan kondisi politik yang kondusif. Suatu tuntutan yang pada hakekatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional, dengan mengedepankan budaya dan etika politik yang patut dibanggakan.

C. Pengaruh Politik Terhadap Kebijakan Pendidikan
Berkaca dari penyelenggaraan kampanye pemilu dan koalisi parpol, menunjukkan bahwa ada yang salah dalam peran yang dimainkan parpol dalam pendidikan politik. Fakta lebih menunjukkan bahwa sebagian parpol belum mampu melaksanakan fungsi dan perannya. Kebanyakan parpol belum memperjuangkan kepentingan konstituen tetapi lebih sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompok elite partai. Pada masa kampanye, parpol sibuk dengan aktivitas yang berorientasi pada penguatan citra dan sosialisasi untuk menarik massa. Pidato juru kampanye tak jarang meneriakkan janji-janji manis yang kadang sulit diterima akal sehat, namun disuarakan dengan lantang.
Hiruk pikuk dalam koalisi parpol dalam pemilu 2009 menunjukkan bahwa para elit tidak sedikitpun melibatkan rakyat pemilih ( konstituen), apalagi memikirkan program untuk rakyat. Padahal konstituen sebelumnya telah berpartisipasi menggunakan hak pilihnya untuk perolehan suara parpol. Pembicaraan mengenai parpol menjelang pemilu presiden bahkan tidak berdasarkan platform, agenda pemerintahan, serta ideologi yang semestinya menjadi tuntutan dasar. Implikasinya adalah pragmatisme yang tertanam kuat di benak konstituen, dan dikhawatirkan masyarakat akan ikut berperilaku pragmatis dalam memilih. Koalisi hanya mengarah pada persoalan pembagian kekuasaan ( sharing of power) dan jabatan. Padahal harus ada visi dan program membangun bangsa keluar dari permasalahan dan meletakkan dasar supaya Indonesia lebih maju sesuai RPJPN. Karena berubahnya sistem politik nasional dan tidak adanya Garis-Garis Besar Haluan Negara yang mengikat seperti dulu, tidak lantas berarti bahwa bangsa Indonesia tidak peduli dengan visi maupun rencana jangka panjang. Mestinya setiap elit politik harus menjadikan RJPJN sebagai pedoman perumusan visi misi serta program capres dan cawapres yang akan diusung oleh koalisi parpol.
Parpol juga harus melakukan pendidikan politik bagi kader-kadernya yang akan diantarkan menjadi pejabat publik atau wakil rakyat. Namun dalam realitas, para elit politik tidak kelihatan memberi contoh yang dapat menjadi pendidikan politik bagi masyarakat luas. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku para elit politik yang tidak menunjukkan cara berpikir jernih, sikap dan tingkah laku yang matang dan dewasa secara mental, kultural dan intelektual, dan taat pada hukum serta berbagai peraturan.















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kondisi real politik dan politik pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya merdeka dan tertinggal dari tuntutan daya saing global, belum mampu memberikan harapan konkrit atas kemajuan bangsa di masa depan.
Pendidikan politik diharapkan mampu membentuk karakter dan mental generasi muda agar dapat melakukan transformasi budaya dalam upaya membina sistem dan kondisi politik yang kondusif dengan mengedepankan budaya dan etika politik yang patut dibanggakan.
Perlu dilakukan penilaian ulang, revisi, pembaharuan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional, agar pendidikan lebih relevan dan lebih fungsional dengan tuntutan zaman.
Mengembangkan pendidikan yang tidak hanya menjadi banking-process, namun menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, humanis, tidak antirealitas, mengutamakan proses, penyelarasan hak dan tanggungjawab.
Melaksanakan kembali pendidikan budi pekerti yang merupakan pondasi bagi pelaksanaan civic education agar tercipta generasi yang tidak hanya mau menjadi politisi namun paham budaya dan etika politik.
Pengertian pendidikan politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi politik pada individu, meliputi keyakinan konsep yang memiliki muatan politis, loyalitas dan perasaan politik, serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik.
Pendidikan politik dalam masyarakat manapun harus memiliki institusi dan perangkat yang menopangnya. Yang paling mendasar adalah keluarga, institusi pendidikan, partai politik, pers dan masyarakat luas
Parpol harus melakukan pendidikan politik bagi kader-kadernya yang akan diantarkan menjadi pejabat publik atau wakil rakyat. Namun dalam realitas, para elit politik tidak kelihatan memberi contoh yang dapat menjadi pendidikan politik bagi masyarakat luas. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku para elit politik yang tidak menunjukkan cara berpikir jernih, sikap dan tingkah laku yang matang dan dewasa secara mental, kultural dan intelektual, dan taat pada hukum serta berbagai peraturan.

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar di atas caranya
1. Masukkan Komentar anda di kolom komentar
2. Pada Kotak "Beri Komentar sebagai" pilih akun yang ada pada pilihan.
3. klik publikasikan.
5. isi code capta
6. tekan enter atau publikasikan.

Anda di perbolehkan berkomentar dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. Komentar jangan mengandung SARA dan PORNO
2. Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan.
3. Tidak Boleh SPAM
4. Jangan meninggalkan Link aktif pada komentar. Komentar dengan Link Aktif akan dihapus.
5. Berkomentarlah sesuai dengan topik artikel

 
Support : Amalkan Ilmu Berbagi Untuk Semua | Blog SEO Arul
Copyright © 2013. Amriani Hamzah Dara Daeng Makassar - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger