Home »
» MODEL EVALUASI DAN MONITORING DIKLAT
MODEL EVALUASI DAN MONITORING DIKLAT
Written By Unknown on Rabu, 20 Maret 2013 | 20.09
Tugas Individu
EVALUASI DAN MONITORING DIKLAT
“MODEL EVALUASI DANMONITORING DIKLAT SERTA
STANDARD OPERATING PROSEDUR”
AMRIANI HAMZAH
094304023
ADMINISTRASI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2012
MODEL EVALUASI DAN MONITORING DIKLAT
1. CIPP (Context, Input, Process, Product)
CIPP (Context, Input, Process, Product) model yang diperkenalkan oleh Stufflebeam
memiliki kerangka yang fokus pada sararan program, fasilitasi isi training, implementasi
program, dan hasil dari program.
Model evaluasi CIPP yang dikemukakan oleh Stufflebeam & Shinkfield (1985) adalah
sebuah pendekatan evaluasi yang berorientasi pada pengambil keputusan (a decision oriented
evaluation approach structured) untuk memberikan bantuan kepada administrator atau leader
pengambil keputusan. Stufflebeam mengemukakan bahwa hasil evaluasi akan memberikan
alternatif pemecahan masalah bagi para pengambil keputusan. Model evaluasi CIPP ini terdiri
dari 4 komponen yang diuraikan sebagai berikut:
1. Evaluasi konteks
Evaluasi konteks mencakup analisis masalah yang berkaitan dengan lingkungan
program atau kondisi obyektif yang akan dilaksanakan. Berisi tentang analisis kekuatan
dan kelemahan obyek tertentu (Eko Putro Widoyoko: 2010). Suharsimi Arikunto dan
Cepi Safrudin (2009) menjelaskan bahwa, evaluasi konteks adalah upaya untuk
menggambarkan dan merinci lingkungan kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan
sampel yang dilayani, dan tujuan proyek.
2. Input evaluasi
Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan.
Menurut Eko Putro Widoyoko, evaluasi masukan membantu mengatur keputusan,
menentukan sumber-sumber yang ada, alternative apa yang diambil, apa rencana dan
strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
Komponen evaluasi masukan meliputi: 1) Sumber daya manusia, 2) Sarana dan peralatan
pendukung, 3) Dana atau anggaran, dan 4) Berbagai prosedur dan aturan yang
diperlukan.
3. Evaluasi proses
Evaluasi proses digunakan untuk menditeksi atau memprediksi rancangan
prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan
informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah
terjadi. Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan
diterapkan dalam praktik pelaksanaan program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk
mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu
diperbaiki.
4. Evaluasi produk/ hasil
Evaluasi produk merupakan penilaian yang dilakukan guna untuk melihat
ketercapaian/ keberhasilan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya. Pada tahap evaluasi inilah seorang evaluator dapat menentukan atau
memberikan rekomendasi kepada evaluan apakah suatu program dapat dilanjutkan,
dikembangkan/modifikasi, atau bahkan dihentikan.
Menurut Eko Putro Widoyoko model evaluasi CIPP lebih komprehensif diantara model
evaluasi lainnya, karena objek evaluasi tidak hanya pada hasil semata tetapi juga mencakup
konteks, masukan, proses, dan hasil. Selain kelebihan tersebut, di satu sisi model evaluasi ini
juga memiliki keterbatasan, antara lain penerapan model ini dalam bidang program pembelajaran
dikelas mempunyai tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi jika tidak adanya modifikasi.
2. EVALUASI MODEL KIRKPATRICK
Kirkpatrick salah seorang ahli evaluasi program pelatihan dalam bidang pengembangan
sumber daya manusia (SDM). Model evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick dikenal
dengan istilah Kirkpatrick Four Levels Evaluation Model. Evaluasi terhadap efektivitas program
pelatihan (training) menurut Kirkpatrick (1998) dalam Eko Putro Widoko (2010) mencakup
empat level evaluasi, yaitu: level 1 reaction, level 2 learning, level 3 behavior, dan level 4 result.
a. Evaluasi reaksi (reaction evaluation)
Mengevaluasi terhadap reaksi peserta training berarti mengukur kepuasan peserta.
Program training dianggap efektif apabila proses training dirasa menyenangkan dan
memuaskan bagi peserta training, sehingga mereka tertarik dan termotivasi untuk belajar
dan berlatih. Dengan kata lain peserta training akan termotivasi apabila proses training
berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi
dari peserta yang menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta tidak merasa puas terhadap
proses training yang diikutinya mereka tidak akan termotivasi untuk mengikuti training.
Partner (2009) mengemukakan bahwa “the interest, attention and motivation of
the participants are critical to the success of any training program, people learn better
when they react positively to the learning environment”. Dapat disimpulkan bahwa
keberhasilan proses kegiatan training tidak terlepas dari minat, perhatian, dan motivasi
peserta pelatihan dalam mengikuti jalannya kegiatan pembelajaran. Orang akan belajar
lebih baik manakala mereka memberi reaksi positif terhadap lingkungan belajar.
Kepuasan peserta dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu materi yang diberikan,
fasilitas yang tersedia, strategi penyampaian materi yang digunakan oleh instruktur,
media pembelajaran yang tersedia, waktu pelaksanaan pembelajaran, hingga gedung
tempat pembelajaran dilaksanakan. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan reaction
sheet dalam bentuk angket sehingga lebih mudah dan lebih efektif.
b. Evaluasi belajar (learning evaluating)
Ada tiga hal yang dapat diajarkan dalam prgram training, yaitu pengetahuan,
sikap maupun keterampilan. Peserta training dikatakan telah belajar apabila pada dirinya
telah mengalami perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan
keterampilan. Oleh karena itu untuk mengukur efektivitas prgram training maka ketiga
aspek tersebut perlu untuk diukur. Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan
pengetahuan atau keterampilan pada peserta training maka program dapat dikatakan
gagal.
Penilaian learning evaluating ini ada yang menyebut dengan penilaian hasil
(output) belajar. Mengukur hasil belajar lebih sulit dan memakan waktu dibandingkan
dengan mengukur reaksi. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan reaction sheet dalam
bentuk angket sehingga lebih mudah dan lebih efektif. Menurut Kirkpatrick (1998: 40),
untuk menilai hasil belajar dapat dilakukan dengan kelompok pembanding. Kelompok
yang ikut pelatihan dan kelompok yang tidak ikut pelatihan diperbandingkan
perkembangannya dalam periode waktu tertentu. Dapat juga dilakukan dengan
membandingkan hasil pretest dengan posttest, tes tertulis maupun tes kinerja
(performance test).
c. Evaluasi perilaku (behavior evaluation)
Evaluasi pada level ke 3 (evaluasi tingkah laku) ini berbeda dengan evaluasi
terhadap sikap pada level ke 2. Penilaian sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada
perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan pembelajaran dilakukan sehingga lebih
bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan tingkah
laku peserta setelah selesai mengikuti pembelajaran. Sehingga penilaian tingkah laku ini
lebih bersifat eksternal. Karena yang dinilai adalah perubahan perilaku setelah mengikuti
kegiatan pembelajaran dan kembali ke lingkungan mereka maka evaluasi level 3 ini dapat
disebut sebagai evaluasi terhadap outcomes dari kegiatan pelatihan.
Evaluasi perilaku dapat dilakukan dengan membandingkan perilaku kelompok
kontrol dengan perilaku peserta training, atau dengan membandingkan perilaku sebelum
dan sesudah mengikuti training maupun dengan mengadakan survei atau interview
dengan pelatih, atasan maupun bawahan peserta training setelah mereka kembali
ketempat kerja.
d. Evaluasi hasil (result evaluation)
Evaluasi hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final result) yang
terjadi karena siswa telah mengikuti suatu program pembelajaran. Termasuk dalam
kategori hasil akhir dari suatu program pembelajaran diantaranya adalah peningkatan
hasil belajar, peningkatan pengetahuan, dan peningkatan keterampilan (skills).
Beberapa program mempunyai tujuan meningkatkan moral kerja maupun
membangun teamwork (kerjasama tim) yang lebih baik. Dengan kata lain adalah evaluasi
terhadap impact program (pengaruh program). Tidak semua pengaruh dari sebuah
program dapat diukur dan juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu
evaluasi level 4 ini lebih sulit di bandingkan dengan evaluasi pada level-level
sebelumnya. Evaluasi hasil akhir ini dapat dilakukan dengan membandingkan kelompok
kontrol dengan kelompok peserta pembelajaran, mengukur kemampuan siswa sebelum
dan setelah mengikuti pembelajaran apakah ada peningkatan atau tidak (Kirkpatrick,
1998: 61).
Dibandingkan dengan model evaluasi yang lain, model ini memiliki beberapa
kelebihan yaitu: 1) lebih komprehensif, karena mencakup had skill dan soft skill. 2) objek
evaluasi tidak hanya hasil belajar semata tapi juga mencakup proses, output dan
outcomes. 3) mudah untuk diterapkan. Selain kelebihan tersebut model ini juga memiliki
beberapa keterbatasan, antara lain: 1) kurang memperhatikan input. 2) untuk mengukur
impact sulit dilakukan karena selain sulit tolak ukurnya juga sudah di luar jangkauan guru
maupun sekolah.
3. MODEL EVALUASI METFESSEL DAN MICHAEL
Metfessel dan Michael (1967), dapat digunakan oleh guru dan evaluator program. Dalam
strategi model Metfessel dan Michael terdapat delapan langkah yaitu
a) Keterlibatan masyarakat (envalvement of the community) yakni : orangtua, ahli-ahli
pendidikan dan peserta didik
b) Pengembangan tujuan dan memilih tujuan menurut skala prioritas
c) Menterjemahkan tujuan menjadi bentuk tingkah laku dan mengembangkan pengajaran.
d) Mengembangkan metode untuk mengukur dan mengevaluasi pencapaian tujuan.
e) Menyusun dan mengadministrasi ukuran untuk mengevaluasi pencapaian tujuan
f) Menganalisis hasil pengukuran
g) Menginterpretasi dan mengevaluasi data
h) Menyusun rekomendasi untuk mengembangkan pengajaran
Metode ini dilengkapi dengan instrumen pengumpulan data, lengkap dengan kriteria-kriteria
yang dapat digunakan untuk mengevaluasi sebuah proyek/kegiatan program. Seperangkat
instrumen tersebut meliputi : tes, angket, check list, dan sebagainya serta cara-cara lain untuk
menghimpun data penunjang.
4. MODEL EVALUASI UCLA
Menurut Alkin (1969) evaluasi adalah suatu proses meyakinkan keputusan, memilih
informasi yang tepat, mengumpulkan, dan menganalisa informasi sehingga dapat melaporkan
ringkasan data yang berguna bagi pembuat keputusan dalam memilih beberapa alternatif. Ia
mengemukakan lima macam evaluasi yakni :
a. Sistem assessment, yaitu memberikan informasi tentang keadaan atau posisi sistem.
b. Program planning, membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan berhasil
memenuhi kebutuhan progam.
c. Program implementation, yang menyiapkan informasi apakah rogram sudah
diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang tepat seperti yang direncanakan?
d. Program improvement, yang memberikan informasi tentang bagaimana program
berfungsi, bagaimana program bekerja, atau berjalan? Apakah menuju pencapaian tujuan,
adakah hal-hal atau masalah-masalah baru yang muncul tak terduga?
e. Program certification, yang memberi informasi tentang nilai atau guna program.
5. MODEL EVALUASI BRINKERHOFF
Brinkerhoff & Cs. (1983) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun
berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti evaluator-evaluator lain, namun
dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut :
a. Fixed vs Emergent Evaluation Design.
Desain evaluasi fixed (tatap) harus derencanakan dan disusun secara sistematik-
terstruktur sebelum program dilaksanakan. Meskipun demikian, desain fixed dapat juga
disesuikan dengan kebutuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Desani evaluasi ini
dikembangkan berdasarkan tujuan program, kemudian disusun pertanyaan-pertanyaan
untuk mengumpulkan berbagai informasi yang diperoleh dari sumber-sumber tertentu.
Begitu juga dengan model analisis yang akan digunakan harus dibuat sebelum program
dilaksanakan.
Kegiatan-kegiatan evaluasi yang dilakukan dalam desain fixed ini, antara lain
menyusun pertanyaan-pertanyaan, menyusun dan menyiapkan instrumen, menganalisis
hasil evaluasi, dan melaporkan hasil evaluasi secara formal kepada pihak-pihak yang
bekepentingan. Untuk mengumpulkan data dalam desain ini dapat digunakan berbagai
teknik, seperti tes, observasi, wawancara, kuesioner, dan skala penilaian.
b. Formative vs Summative Evaluation.
Evaluasi formatif berfungsi untuk memperbaiki kurikulum dan pembelajaran,
sedangkan evaluasi sumatif berfungsi untuk melihat kemanfaatan kurikulum dan
pembelajaran secara menyeluruh. Artinya, jika hasil kurikulum dan pembelajaran
memang bermanfaat bagi semua pihak yang terkait (terutama peserta didik) maka
kurikulum dan pembelajaran dapat dihentikan.
c. Experimental and Quasi Experimental Design vs Natural/ Unobtrusive Inquiry.
Desain eskprimental dan desain quasi eskprimental vs natural inquiry,desain
eksperimental banyak menggunakan pendekatan kuantitatif, random sampling,
memberikan perlakuan, dan mengukur dampak. Tujuannya adalah untuk menilai manfaat
hasil percobaan program pembelajaran. Untuk itu, perlu dilakukan manipulasi terhadap
lingkungan dan pemilihan strategi yang dianggap pantas. Jika prosesnya sudah terjadi,
evaluator cukup melihat dokumen-dokumen sejarah atau menganalisis hasil tes. Jika
prosesnya sedang terjadi, evaluator dapat melakukan pengamatan atau wawancara dengan
orang-orang yang terlibat. Untuk itu, kriteria internal dan eksternal sangat diperlukan.
Selain berbagai model tersebut, Nana Sudjana dan Ibrahim (2004: 234)
mengelompokkan model-model evaluasi pendidikan berdasarkan perkembangannya
menjadi 4 kelompok yaitu:
6. MODEL EVALUASI STAKE ATAU MODEL COUNTENANCE
Menurut model ‘Countenance’, penilaian harus mengandung langkah-langkah berikut;
menerangkan program; melaporkan keterangan tersebut kepada pihak yang berkepentingan;
mendapatkan dan menganalisis ‘judgment; melaporkan kembali hasil analisis kepada klien.
Seterusnya, model responsif mencadangkan perhatian yang terus menerus oleh penilai dan semua
pihak yang terlibat dengan penilaian. Model evaluasi Stake (1967), merupakan analisis proses
evaluasi yang membawa dampak yang cukup besar dalam bidang ini, meletakkan dasar yang
sederhana namun merupakan konsep yang cukup kuat untuk perkembangan yang lebih jauh
dalam bidang evaluasi. Stake menekankan pada dua jenis operasi yaitu deskripsi (descriptions)
dan pertimbangan (judgments) serta membedakan tiga fase dalam evaluasi program yaitu :
Persiapan atau pendahuluan (antecedents), Proses/transaksi (transaction-processes),
Keluaran atau hasil (outcomes, output). Model stake tersebut dapat digambarkan dalam bentuk
diagram sebagai berikut : Descriptions matrix menunjukkan Intents (goal=tujuan) dan
observations (effect=akibat) atau yang sebenarnya terjadi. Judgment berhubungan dengan
standar (tolak ukur = kriteria)/dan judgment (pertimbangan). Stake menegaskan bahwa ketika
kita menimbang-nimbang di dalam menilai suatu program pendidikan, kita tentu melakukan
pembandingan relatif (antara satu program dengan standard).
Model ini menekankan kepada evaluator agar membuat keputusan/penilaian tentang
program yang sedang dievaluasi secara benar, akurat dan lengkap. Stake menunjukkan bahwa
description disatu pihak berbeda dengan pertimbangan (judgment) atau menilai. Di dalam model
ini data tentang Antecendent (input), Transaction (process) dan Outcomes (Product) data tidak
hanya dibandingkan untuk menentukan kesenjangan antara yang diperoleh dengan yang
diharapkan, tetapi juga dibandingkan dengan standar yang mutlak agar diketahui dengan jelas
kemanfaatan kegiatan di dalam suatu program.
Stake, analisis proses evaluasi yang ditemukannya membawa dampak yang cukup besar
dalam bidang ini dan meletakkan dasar yang sederhana namun merupakan konsep yang cukup
kuat untuk perkembangan yang lebih jauh dalam bidang evaluasi. Stake menekankan danya dua
dasar kegiatan dalam evaluasi ialah Description dan judgement dan membedakan adanya tiga
tahap dalam program pendidikan, yaitu : Antecedents (Context), Transaction (Process), dan
Outcomes (Output).
Matrix Description menunjukkan Intents (Goals) dan Observations (Effects) atau yang
sebenarnya terjadi. Judgement mempunyai dua aspek, yaitu Standard dan Judgement.
Stake mengatakan apabila kita menilai suatu program pendidikan kita, melakukan perbandingan
yang relatif antara satu program dengan yang lain, atau perbandingan yang absolut (satu program
dengan standard).
Penekanan yang umum atau hal yang penting dalam model ini ialah bahwa evaluator
yang membuat penilaian tentang program yang dievaluasi. Stake mengatakan bahwa description
di satu pihak berbeda dengan Judgement atau menilai. Dalam model ini antecedents (masukan),
transaction (proses), dan outcomes (hasil) data dibandingkan tidak hanya untuk menentukan
apakah ada perbedaan tujuan dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga dibandingkan dengan
standar yang absolut, untuk menilai manfaat program. Stake mengatakan bahwa tak ada
penelitian dapat diandalkan apabila tidak dinilai.
Pendekatan evaluasi dipakai untuk memberikan petunjuk bagaimana memperoleh
informasi yang berguna dalam beberapa kondisi. Semua pendekatan paling tidak mempunyai
tujuan yang sama yaitu bagaimana memperoleh informasi yang berarti atau tepat untuk klien
atau pemakai. Namun masing-masing dalam usahanya berbeda penekanan pada aspek tertentu
dalam tahap pengumpulan data, analisis, dan laporannya.
a. Pendekatan Experimental
Yang di maksudkan dengan pendekatan eksperimental yaitu evaluasi yang
berorientasi pada penggunaan experimental science dalam proses evaluasi. Pendekatan
ini berasal dari kontrol eksperimen yang biasanya dilakukan dalam penelitian akademik.
Tujuan evaluator adalah untuk memperoleh kesimpulan yang bersifat umum tentang
dampak suatu program tertentu yang mengontrol sebanyak-banyaknya factor dan
mengisolasi pengaruh program. Evaluator berusaha sekuat tenaga menggunakan metode
saitifik sebanyak mungkin.
b. Pendekatan yang berorientasi pada tujuan (Goal Oriented Approach)
Cara yang paling logis untuk merencanakan suatu program yaitu merumuskan
tujuan umum dan tujuan khusus dan membentuk kegiatan program untuk mencapai
tujuan tersebut. Hal yang sama juga diperoleh pada orientasi tujuan pada evaluasi.
Pendekatan ini memakai tujuan program sebagai kriteria untuk menentukan keberhasilan.
Evaluator mencoba mengukur sampai di mana pencapaian tujuan telah dicapai.
Pendekatan evaluasi semacam ini merupakan pendekatan yang amat wajar dan
praktis untuk desain dan pengembangan program. Model ini memberi petunjuk kepada
pengembangan program, menjelaskan hubungan antara kegiatan khusus yang ditawarkan
dan hasil yang dicapai. Peserta tidak hanya harus menjelaskan hubungan tersebut diatas,
tetapi juga harus menentukan hasil yang diinginkan dengan rumusan yang dapat diukur.
Dengan demikian ada hubungan yang logis antara kegiatan, hasil dan prosedur
pengukuran hasil.
c. Pendekatan yang berfokus kepada keputusan (The Decision Focused Approach)
Pendekatan evaluasi yang berfokus pada keputusan, menekankan pada peranan
informasi yang sistematik untuk mengelola program dalam menjalankan tugasnya. Sesuai
dengan pandangan ini, informasi akan sangat berguna apabila dapat membantu para
pengelola program dalam membuat keputusan. Oleh sebab itu, kegiatan evaluasi harus
direncanakan sesuai dengan kebutuhan untuk keputusan program.
Pengumpulan data dan laporan dibuat untuk menambah efektifitas pengelola
program. Selanjutnya karena program sering berubah selama beroperasi dari awal sampai
akhir, kebutuhan pemegang keputusan juga akan berubah, dan evaluasi harus disesuaikan
dengan keadaan tersebut. Pada tingkat perencanaan, pembuatan program memerlukan
informasi tentang masalah dan kapasitas organisasi. Selama dalam tingkat implementasi
adminstrator memerlukan informasi tentang proses yang sedang berjalan. Bila program
sudah selesai, keputusan-keputusan penting akan dibuat berdasarkan hasil yang dicapai.
Sebagai akibatnya evaluator harus mengetahui dan mengerti perkembangan program dan
harus siap menyediakan bermacam-macam informasi pada bermacam-macam waktu.
Idealnya program dan system evaluasi dikembangkan bersama, tapi hal ini tidak selalu
dapat terjadi. Malahan sering evaluator diminta mengevaluasi setelah program berjalan.
d. Pendekatan yang berorientasi kepada pemakai (The User Oriented Approach)
Sejak tahun sembilan belas tujuh puluhan, evaluasi merupakan suatu komponen
standar dari hampir semua program yang dibiayai masyarakat. Para evaluatormenjadi
sibuk tapi banyak yang merasa kurang puas atas hasil usahanya. Ketidak puasan ini
diakibatkan dari hasil laporan mereka yang sedikit sekali berpengaruh terhadap program
yang mereka evaluasi. Walupun evaluasi telah mengukur sampi sejauh mana tujuan
program telah dicapai, tapi hasilnya tidak seperti yang mereka harapkan. Sebagai
jawaban atas hal tersebut, para peneliti mulai meneliti masalah utilitas evaluasi. Mereka
mulai mengumpulkan bukti-bukti empiris yang membatasi pemakaian informasi .
Sejumlah factor-faktor positif berhasil dirumuskan, termasuk keterlibatan langsung para
pemegang kunci keputusan, ketepatan waktu informasi, dan kepekaan terhadap konteks
organisasi. Lebih-lebih lagi keterlibatan personel tampaknya memegang peran penting
dalam mempromosikan pemakaian evaluasi.
Karena banyak factor-faktor positif dapat dipengaruhi oleh perilaku evaluator,
sejumlah peneliti mengembangkan pendekatan baru yang menekankan perluasan
pemakaian informasi. Hal ini disebut pendekatan The user oriented. Seperti apa yang
dibayangkan, pemakai informasi yang potensial adalah yang menjdai tujuan utama.
e. Pendekatan yang responsive (The Responsive Approach)
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling lain dari kelima pendekatan
dalam tulisan ini, karena perspektif dalam usulan evaluasi dan metode pencapaiannya.
Evaluasi responsive percaya bahwa evaluasi yang berarti yaitu yang mencari pengertian
suatu isu dari berbagai sudut pandang dari semua orang yang terlibat, yang berminat, dan
yang berkepentingan dengan program. Evaluator tidak percaya ada satu jawaban untuk
suatu evaluasi program yang dapat ditemukan dengan memakai tes, kuisioner atau
analisis statistik. Tapi setiap orang yang dipengaruhi oleh program merasakannya. Secara
unik dan evaluator mencoba menolong menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan
melukiskan atau menguraikan kenyataan melalui pandangan orang-orang tersebut.
Tujuan evaluator adalah berusaha mengerti urusan program melalui berbagai sudut
pandangan yang berbeda. Evaluator juga mengadopsi pendekatan yang bermacammacam
dalam penelitiannya dan dalam masalah mencari tahu dinamika organisasi.
Evaluasi Responsif ditandai dengan cirri-ciri penelitian yang kualitatif, naturalistic,
bukan kuantitatif. Bukan mengumpulkan data dengan instrumen tes atau kuisioner tertapi
melakukan observasi yang langsung atau tidak langsung terhadap kejadian dan
interprestasi data yang impresionistik.
f. Goal Free Evaluation
Alasan mengemukakan evaluasi Goal free evaluation (ebaluasi bebas tujuan),
dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut : tujuan pendidikan tak dapat dikatakan
sebagai pemberian, seperti tujuan biasanya atau umumnya hanya formalitas, dan jarang
menunjukkan tujuan yang sebenarnya dari proyek atau tujuan berubah. Lagi pula banyak
hasil program penting tidak sesuai dengan tujuan program misalnya membangun pusat
vocational pendidikan baru akan menciptakan lapangan kerja baru, hasil yang diinginkan
tetapi tidak pernah menghsilkan tujuan proyek yang nyata. Scriven percaya bahwa fungsi
evaluasi bebas tujuan adalah untuk mengurangi bias dan menambah objectifitas.
Dari berbagai metode diatas dapat kita amati bahwa masing-masing metode memiliki
kelebihan dan kelemahan masing-masing.
7. ADVERSARY EVALUATION MODEL
Adversary Evaluation Model adalah salah satu model evaluasi yang dalam pelaksanaannya
evaluator dibagi atas dua tim yaitu dim yang pro dan tim yang kontra. Dimana kedua kelompok
ini akan bekerja secara professional untuk mencari data-data yang pro / mendukung dan yang
kontra / bertentangan sehubungan dengan pokok persoalan, program, proyek, material dan
sebaginya.
8. MODEL ROTI (RETURN ON TRAINING INVESTMENT )
Model ROTI yang dikembangkan oleh Jack Phillips merupakan level evaluasi terakhir
untuk melihat cost-benefit setelah pelatihan dilaksanakan. Kegunaan model ini agar pihak
manajemen perusahaan melihat pelatihan bukan sesuatu yang mahal dan hanya merugikan pihak
keuangan, akan tetapi pelatihan merupakan suatu investasi. Sehingga dapat dilihat dengan
menggunakan hitungan yang akurat keuntungan yang dapat diperoleh setelah melaksanakan
pelatihan, dan hal ini tentunya dapat memberikan gambaran lebih luas, apabila ternyata dari hasil
yang diperoleh ditemukan bahwa pelatihan tersebut tidak memberikan keuntungan baik bagi
peserta maupun bagi perusahaan.Dapat disimpulkan bahwa model evaluasi ini merupakan
tambahan dari model evaluasi Kirkpatrick yaitu adanya level ROTI (Return On Training
Investment), pada level ini ingin melihat keberhasilan dari suatu program pelatihan dengan
melihat dari Cost- Benefit-nya, sehingga memerlukan data yang tidak sedikit dan harus akurat
untuk menunjang hasil dari evaluasi pelatihan yang valid.
Penerapan model evaluasi empat level dari Kirkpatrick dalam pelatihan dapat diuraikan
dengan persyaratan yang diperlukan sebagai berikut.
a. Level 1: Reaksi
Evaluasi reaksi ini sama halnya dengan mengukur tingkat kepuasan peserta pelatihan.
Komponen-komponen yang termasuk dalam level reaksi ini yang merupakan acuan untuk
dijadikan ukuran. Komponen-komponen tersebut berikut indikator-indikatornya adalah:
1. Instruktur/ pelatih. Dalam komponen ini terdapat hal yang lebih spesifik lagi yang dapat
diukur yang disebut juga dengan indikator. Indikator-indikatornya adalah kesesuaian
keahlian pelatih dengan bidang materi, kemampuan komunikasi dan ketermapilan pelatih
dalam mengikut sertakan peserta pelatihan untuk berpartisipasi.
2. Fasilitas pelatihan. Dalam komponen ini, yang termasuk dalam indikator-indikatornya
adalah ruang kelas, pengaturan suhu di dalam ruangan dan bahan dan alat yang
digunakan.
3. Jadwal pelatihan. Yang termasuk indikator-indikator dalam komponen ini adalah
ketepatan waktu dan kesesuaian waktu dengan peserta pelatihan, atasan para peserta dan
kondisi belajar.
4. Media pelatihan. Dalam komponen ini, indikator-indikatornya adalah kesesuaian media
dengan bidang materi yang akan diajarkan yang mampu berkomunikasi dengan peserta
dan menyokong instruktur/ pelatihan dalam memberikan materi pelatihan.
5. Materi Pelatihan. Yang termasuk indikator dalam komponen ini adalah kesesuaian materi
dengan tujuan pelatihan, kesesuaian materi dengan topik pelatihan yang diselenggarakan.
6. Konsumsi selama pelatihan berlangsung. Yang termasuk indikator di dalamnya adalah
jumlah dan kualitas dari makanan tersebut.
7. Pemberian latihan atau tugas. Indikatornya adalah peserta diberikan soal.
8. Studi kasus. Indikatornya adalah memberikan kasus kepada peserta untuk dipecahkan.
9. Handouts. Dalam komponen ini indikatornya adalah berapa jumlah handouts yang
diperoleh, apakah membantu atau tidak.
b. Level 2: Pembelajaran
Pada level evaluasi ini untuk mengetahui sejauh mana daya serap peserta program
pelatihan pada materi pelatihan yang telah diberikan, dan juga dapat mengetahui dampak dari
program pelatihan yang diikuti para peserta dalam hal peningkatan knowledge, skill dan attitude
mengenai suatu hal yang dipelajari dalam pelatihan. Pandangan yang sama menurut Kirkpatrick,
bahwa evaluasi pembelajaran ini untuk mengetahui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang diperoleh dari materi pelatihan. Oleh karena itu diperlukan tes guna utnuk
mengetahui kesungguhan apakah para peserta megikuti dan memperhatikan materi pelatihan
yang diberikan. Dan biasanya data evaluasi diperoleh dengan membandingkan hasil dari
pengukuran sebelum pelatihan atau tes awal (pre-test) dan sesudah pelatihan atau tes akhir (posttest)
dari setiap peserta. Pertanyaan-pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga mencakup
semua isi materi dari pelatihan.
c. Level 3: Perilaku
Pada level ini, diharapkan setelah mengikuti pelatihan terjadi perubahan tingkah laku
peserta (karyawan) dalam melakukan pekerjaan. Dan juga untuk mengetahui apakah
pengetahuan, keahlian dan sikap yang baru sebagai dampak dari program pelatihan, benar-benar
dimanfaatkan dan diaplikasikan di dalam perilaku kerja sehari-hari dan berpengaruh secara
signifikan terhadap peningkatan kinerja/ kompetensi di unit kerjanya masing-masing.
d. Level 4: Hasil
Hasil akhir tersebut meliputi, peningkatan hasil produksi dan kualitas, penurunan harga,
peningkatan penjualan. Tujuan dari pengumpulan informasi pada level ini adalah untuk menguji
dampak pelatihan terhadap kelompok kerja atau organisasi secara keseluruhan. Sasaran
pelaksanaan program pelatihan adalah hasil yang nyata yang akan disumbangkan kepada
perusahaan sebagai pihak yang berkepentingan. Walaupun tidak memberikan hasil yang nyata
bagi perusahan dalam jangka pendek, bukan berarti program pelatihan tersebut tidak berhasil.
Ada kemungkinan berbagai faktor yang mempengaruhi hal tersebut, dan sesungguhnya hal
tersebut dapat dengan segera diketahui penyebabnya, sehingga dapat pula sesegera mungkin
diperbaiki. .
9. MEASUREMENT MODEL
Model ini dipandang sebagai model tertua di dalam sejarah evaluasi dan telah banyak
dikenal di dalam proses evaluasi pendidikan. Tokoh-tokoh evaluasi yang dipandang sebagai
pengembang model ini adalah R. Thorndike dan R.L. Ebel.
Sesuai dengan namanya, model ini sangat menitikberatkan peranan kegiatan pengukuran
di dalam melaksanakan proses evaluasi. Pengukuran dipandang sebagai suatu kegiatan yang
ilmiah dan dapat diterapkan dalam berbagai bidang persoalan termasuk ke dalamnya bidang
pendidikan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa menurut model ini, evaluasi pendidikan
pada dasarnya tidak lain adalah pengukuran terhadap berbagai aspek tingkah laku dengan tujuan
untuk melihat perbedaan-perbedaan individual atau kelompok, yang hasilnya diperlukan dalam
rangka seleksi, bimbingan, dan perencanaan pendidikan bagi para siswa di sekolah.
Yang djadikan objek dari kegiatan evaluasi model ini adalah tingkah laku, terutama tingkah laku
siswa. Aspek tingkah laku siswa yang dinilai di sini mencakup kemampuan hasil belajar,
kemampuan pembawaan, minat, sikap, dan juga aspek-aspek kepribadian siswa. Dengan kata
lain, objek evaluasi di sini mencakup baik aspek kognitif maupun dengan kegiatan evaluasi
pendidikan di sekolah, model ini menitikberatkan pada pengukuran terhadap hasil belajar yang
dicapai siswa pada masing-masing bidang pelajaran dengan menggunakan tes.
10. CONGRUENCE MODEL
Model kedua ini dapat dipandang sebagai reaksi terhadap model yang pertama. Tokohtokoh
evaluasi yang merupakan pengembang model ini antara lain adalah Raph W. Tyler, John
B. Carroll, dan Lee J. Cronbach.
Menurut model ini, evaluasi itu tidak lain adalah usaha untuk memeriksa persesuaian
(congruence) antara tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan dan hasil belajar yang telah
dicapai. Berhubung tujuan-tujuan pendidikan menyangkut perubahan-perubahan tingkah laku
yang diinginkan pada diri anak didik, maka evaluasi yang dinginkan itu telah terjadi. Hasil
evaluasi yang diperoleh berguna bagi kepentingan menyempurnakan sistem bimbingan siswa dan
untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak di luar pendidikan mengenai hasil-hasil yang
telah dicapai.
Objek evaluasi dalam model ini adalah tingkah laku siswa. Secara lebih khusus, yang
dinilai di sini adalah perubahan tingkah laku yang diinginkan yang diperhatikan oleh siswa pada
akhir kegiatan pendidikan. Tingkah laku hasil belajar ini tidak hanya terbatas pada aspek
pengetahuan, melainkan juga mencakup aspek keterampilan dan sikap, sebagai hasil dari proses
pendidikan.
11. EDUCATIONAL SYSTEM EVALUATION MODEL
Model ketiga yang ini merupakan reaksi terhadap kedua model terdahulu. Tokoh-tokoh
evaluasi yang dipandang sebagai pengembang dari model yang ketiga ini antara lain adalah
Daniel L. Stufflebeam, Michael Scriven, Robert E. Stake dan Malcolm M. Provus.
Model ini bertitik tolak dari pandangan, bahwa keberhasilan dari suatu sistem pendidikan
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Evaluasi menurut model ini dimaksudkan untuk
membandingkan performance dari berbagai dimensi sistem yang sedang dikembangkan dengan
sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada suatu deskripsi dan judgement mengenai
sistem yang dinilai tersebut.
12. ILLUMINATIVE MODEL
Model yang keempat ini dikembangkan sebagai reaksi terhadap dua model evaluasi yang
pertama, yaitu measurement dan congruence. Model ini dikembangkan terutama di Inggris dan
banyak dikaitkan dengan pendekatan dalam bidang antropologi. Salah seorang tokoh yang paling
menonjol dalam usahanya mengembangkan model ini adalah Malcolm Parlett.
Tujuan evaluasi menurut model yang keempat ini adalah mengadakan studi yang cermat
terhadap sistem yang bersangkutan. Hasil evaluasi yang dilaporkan lebih bersifat deskripsi dan
interpretasi, bukan pengukuran dan prediksi. Oleh karena itu dalam pelaksanaan evaluasi, model
yang keempat ini lebih banyak menekankan pada penggunaan Judgement.
Model ini juga memandang fungsi evaluasi sebagai bahan atau input untuk kepentingan
pengambilan keputusan dalam rangka penyesuaian-penyesuaian dan penyempurnaan sistem yang
sedang dikembangkan.
13. BENEFIT COST ANALYSIS
Mungkin proses/metode tertua untuk mengevaluasi pengeluaran suatu program adalah
benefit cost analysis. Didasarkan pada kerangka teori ekonomi dan keuangan, maksud utama dari
Benefit Cost Analysis (BCA) adalah untuk memastikan organisasi mempertahankan level
optimum dari efisiensi dalam alokasi sumber daya. Seperti penggunaan utamanya dalam
ekonomi & keuangan, metode ini juga dipakai dalam pendidikan dan pelatihan.
14. FIVE-LEVEL ROI FRAMEWORK DARI JACK J PHILLIPS
Metode dari Jack Phillips ini merupakan metode yang paling luas digunakan untuk
mengevaluasi program training dan program perbaikan kinerja. Philips menambahkan ROI
(Return on Investment) sebagai level ke 5. Memperkenalkan bahwa untuk memindahkan level 4
ke level 5, pengukuran level 4 harus dikonversi ke nilai moneter (uang), seluruh biaya harus
dicatat, keuntungan intangible harus diidentifikasi, dan keuntungan moneter dibandingkan
dengan biaya. Karena itu, mengkombinasikan pendekatan Kirkpatrick dengan Benefit Cost
Analysis untuk memastikan keseimbangan pengukuran dilaporkan.
Jack Philips menggunakan 5 level sebagai kerangka. Dia juga mengembangkan proses yang
sistematis termasuk Performance-based methodology, strategi, pendekatan, dan tool untuk
mengimplementasikan evaluasi di semua level. Metode tersebut juga termasuk tahap kritis untuk
mengisolasi efek dari program pada pengukuran dari pengaruh faktor lain. Selain itu, proses
tersebut mengidentifikasi penghambat & pendorong untuk berhasil dan memberikan
rekomendasi untuk perbaikan berkelanjutan (Continuous Improvement)
15. FIVE LEVEL OF EVALUATIONS DARI KAUFMAN
Kaufman memperluas kerangka Kirkpatrick dengan mendefinisikan Level 1 termasuk
kemungkinan dari berbagai sumber daya dan masukan yang penting untuk berhasil, serta
menambahkan level 5 evaluasi pada perhatian pada aspek sosial dan respon dari organisasi.
16. CIRO
Watt, Bird & Rackham mengemukakan kerangka lain yang mengkategorikan empat
kategori evaluasi yang disebut CIRO. CIRO merupakan singkatan dari Context (Konteks), Input
(Masukan), Process (Proses), dan Outcome (Hasil).
17. MODEL OF EVALUATION KNOWLEDGE & SKILLS DARI MARSHAL &
SCHRIVER
Model lima tahap ini mengevaluasi pengetahuan & ketrampilan. Model ini terbagi:
Level 1 : Mengukur sikap & perasaan peserta
Level 2 : Mengukur pengetahuan dengan test tertulis
Level 3 : Mengukur Ketrampilan dan pengetahuan dengan mensyaratkan peserta untuk
menunjukkan kemampuan unjuk kerja berdasarkan standar
Level 4 : Mengukur Transfer ketrampilan
Level 5 : Mengukur dampak bagi organisasi & ROI
18. BUSINESS IMPACT ISD MODEL DARI INDIANA UNIVERSITY
Proses evaluasi yang termasuk dalam Business Impact Instructional System’s Design
Model ini didasarkan pada enam strata dari dampak yang dimulai dari Stratum 0, yang
menghitung aktivitas seperti volume dari training yang diselenggarakan atau jumlah peserta
dalam program.
1. Stratum 1, mengukur kepuasan peserta terhadap program
2. Stratum 2, mengukur tingkat peserta dalam mendapat pengetahuan dan ketrampilan
dalam program
3. Stratum3, mengukur transfer dari training, untuk menjawab petanyaan “apakah peserta
menggunakan/memanfaatkan apa yang mereka pelajari ?”
4. Stratum 4, mengukur tingkat perbaikan kinerja peserta dan apakah perbaikan tersebut
berpengaruh terhadap profit
5. Stratum 5, berusaha mengukur pengaruh perubahan kinerja dalam organisasi
19. SUCCESS CASE EVALUATION
Success Case Evaluation yang diperkenalkan Brinkerhoff menggunakan purposive
sampling (mengambil sample secara sengaja/terencana) dibandingkan random sampling
(mengambil sample secara acak) untuk mengumpulkan data mengenai keberhasilan program.
Proses ini fokus pada masukan dari peserta yang paling berhasil dan paling tidak berhasil dalam
mengimplementasikan pengetahuan dan ketrampilan yang didapat selama program. Selama
proses, peserta diminta untuk menceritakan keberhasilan aplikasi program dan merinci
penghsmbat atau pendorong yang menghalangi atau mendukung penggunaan ketrampilan dan
pengetahuan yang dipelajari.
20. UTILITY ANALYSIS
Cascio yang memperkenalkan utility analysis kepada umum. Utility analysis adalah
proses yang memasukkan hasil yang diharapkan dan biaya dari keputusan yang diambil ke dalam
perhitungan. Hasil yang spesifik didefinisikan dan kepentingan relatif dari pendapatan
diputuskan.
21. INTEGRAL FRAMEWORK DARI BROWN & REED
Pendekatan yang menyeluruh dalam evaluasi mencakup pembelajaran individu dan
organisasi. Empat konsep kunci dalam pendekatan ini termasuk kumpulan pengembangan;
merujuk pada hubungan antara peserta dengan organisasi; hubungan antar bidang, mengusulkan
bahwa pengembangan tergantung interaksi individu dengan group yang lebih besar;Kerangka
Integral, mengusulkan bahwa pengembangan satu bidang berhubungan dengan pengembangan
bidang yang lain.
22. BALANCED SCORECARD
Metode yang umum dalam level strategi organisasi, adalah Balanced Scorecard yang
dikembangkan oleh Kaplan & Norton. Kerangka ini menampilkan visi organisasi ke dalam
empat perspektif (Financial, Costumer, Internal Process, dan Learning & Growth). Fokus dari
Scorecard adalah mengarahkan strategi dari unit bisnis seperti Fungsi Training.
STANDARD OPERATING PROCEDURE
Pengertian SOP
Suatu standar/pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan
menggerakkansuatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. SOP merupakan tatacara atau
tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu.
Tujuan SOP
1. Agar petugas/pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas/pegawai atau
timdalam organisasi atau unit kerja.
2. Agar mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi
3. Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas/pegawai terkait.
4. Melindungi organisasi/unit kerja dan petugas/pegawai dari malpraktek atau
kesalahanadministrasi lainnya.
5. Untuk menghindari kegagalan/kesalahan, keraguan, duplikasi dan inefisiensi
Fungsi :
1. Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja.
2. Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan.
3. Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak.
4. Mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja.
5. Sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin.
Kapan SOP diperlukan
1. SOP harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan
2. SOP digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah dilakukan dengan
baik atau tidak
3. Uji SOP sebelum dijalankan, lakukan revisi jika ada perubahan langkah kerja yang
dapatmempengaruhi lingkungan kerja.
Standard Operating Prosedur (SOP) pada dasarnya adalah pedoman yang berisi prosedurprosedur
operasional
standar
yang
ada
dalam
suatu
organisasi
yang
digunakan
untuk
memastikan
bahwa
semua
keputusan
dan
tindakan
,
serta
penggunaan
fasilitas-fasilitas
proses
yang
dilakukan
oleh
orang-orang dalam organisasi berjalan secara efisien dan efektif, konsisten, standar dan
sistematis. Dengan adanya sistem manual standar atau (SOP) diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi dan efektifitas kinerja layanan yang diberikan. Dengan adanya instruksi kerja yang
terstandarisasi maka semua kegiatan layanan akan dapat dilakukan secara konsisten oleh
siapapun yang sedang bertugas melakukan layanan. Layanan-layanan yang berbelit dan tidak
jelas prosedur operasinya akan semakin terminimalisir. Disamping konsistensi layanan hal lain
yang akan dihasilkan adalah efisiensi dan efektifitas kerja. Dengan prosedur yang terstandar
setiap orang baik pengguna layanan maupun staf yang memberi layanan akan dapat
memanfaatkan ataupun melakukan layanan yang semakin hari semakin baik dan semakin cepat
karena terjadinya proses pembelajaran yang secara terus menerus terjadi selama proses layanan.
Dengan demikin dapat dipastikan melalui SOP ini akan dapat meningkatkan efisiensi dan
efektifitas kerja layanan.
Berdasarkan SK Kabadan No. 893.3/10097 dtetapkan Tim penyusun SOP dan SPM yang
melibatkan pejabat structural dan widyaiswara dengan tujuan merumuskan sebuah piranti untuk
mengukur kinerja penyelenggaraan Diklat, yang pada gilirannya dapat mewujudkan pelayanan
yang memuaskan pelanggan, memberikan pelayanan prima yang hakekatnya merupakan
kewajiban aparatur pemerintah.
Keberadaan widyaiswara dalam tim tersebut diharapkan akan dapat memberi arahan dan
bimbingan dalam proses perumusan dan penetapan SOP dan SPM karenanya yang dilibatkan
adalah widyaiswara yang pernah mengikuti pelatihan ataupun memiliki pengalaman dalam
penyusunan sop. Keterlibatannya dalam praktek nyata menyusun SOP/SPM memberikan
pengkayaan dan pendalaman wawasan, pengetahuan dan ketrampilan yang bersangkutan.
Dalam tiga kali pertemuan untuk membahas rancangan yang dibuat masing-masing
bidang dan bagian disepakati beberapa prioritas kegiatan untuk disusun dan ditetapkan sop dan
spm-nya. Meskipun berlangsung cukup alot ketika bermusyawarah menuju mufakat, akhirnya
dapat juga disepakati berbagai konsep kunci yang sangat berguna untuk kelancaran proses
pembahasan selanjutnya.
Meskipun istilahnya ditetapkan namun sebenarnya sop dan spm tersebut masih daalam
koridor untuk diujicoba dan akan direvisi/disempurnakan lagi setelah melalui evaluasi on-going
process scara bertahap. Langkah ini harus ditempuh karena sangat mungkin ketika dijalankan
ternyata ditemukan kendala dan hambatan yang tidak terduga yang ternyata menyulitkan. Hanya
saja berapa lama evaluasi tersebut akan berlangsung belum diputuskan.
Kriteria pelayanan yang dipedomani dalam menyusun standar pelayanan:
1. Kesederhanaan, tata cara pelayanan harus diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat,
tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh pelanggan.
2. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang terus dipertahankan dan menjaga
saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia pelayanan, melalui
keakuratan perhitungan keuangan, ketelitian dalam pencatatan data dan ketepatan waktu.
3. Tanggungjawab petugas pelayanan, yang meliputi pelayanan sesuai dengan urutan
waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya apabla terjadi sesuatu yang perlu segera
diberitahukan.
4. Kecakapan atau kompetensi para petugas, yaitu bahwa para petugas pelayanan
menguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan dari pelayanan tersebut.
5. Kedekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan petugas. Petugas
pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak hanya dengan pertemuan secara
langsung, tetapi juga melalui telepon atau email/internet. Oleh karena itu, lokasi dari
fasilitas dan operasional pelayanan juga harus menjadi perhatian.
6. Keramahan, meliputi kesabaran, kesantunan, perhatian dan persahabatan dalam kontak
antara petugas pelayanan dan pelanggan. Keramahan terutama diperlukan jika pelanggan
termasuk dalam konsumen langsung. Sebaliknya, jika layanan yang diberikan tidak
dikonsumsi melalui kontak langsung pihak penyedia layanan tidak harus menerapkan
keramahan yang berlebihan.
7. Keterbukaan, pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi yang mereka butuhkan secara
mudah dan gampang, meliputi informasi mengenai tata cara, persyaratan, waktu
penyelesaian, biaya dan lain-lain.
8. Komunikasi antara petugas dan pelanggan. Adanya komunikasi yang baik dengan
pelanggan akan menjamin bahwa pelanggan memperoleh informasi yang berhak
diperolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang dapat mereka mengerti.
9. Kredibilitas, yaitu adanya saling percaya antara pelanggan dan penyedia pelayanan,
adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan tetap layak dipercayai, adanya
kejujuran kepada pelanggan dan kemampuan penyedia pelayanan untuk menjaga
kesetiaan pelanggan.
10. Kejelasan dan kepastian, meliputi jenis, tata cara, rincian biaya dan tata cara pembayaran,
jadwal waktu penyelesaian layanan. Hal ini penting karena pelanggan yakin terhadap
pelayanan yang diberikan.
11. Keamanan, merupakan usaha untuk memberikan rasa aman dan membebaskan
pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan keamanan yang
diberikan berupa keamanan fisik, finansial dan kepercayaan pada diri sendiri.
12. Mengerti apa yang menjadi harapan pelanggan. Hal ini dilakukan dengan berusaha untuk
mengerti dan mengetahui apa saja yang dibutuhkan pelanggan. Mengerti apa yang
diinginkan pelanggan sebenarnya tidaklah sulit dan dapat dimulai dengan mempelajari
kebutuhan-kebutuhan spesifik yang diinginkan pelanggan dan memberikan perhatian
secara pribadi.
13. Efisien, persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung
dengan pencapai sasaran pelayanan dan memperhatikan keterpaduan antara persyaratan
dengan produk pelayanan.
14. Ekonomis, penetapan biaya pelayanan harus dilakukan secara wajar dengan
memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk membayar.
Cakupan SOP
Cakupan informasi dalam SOP meliputi semua data dan informasi yang sudah diidentifikasi dalam
pengumpulan dan analisa data kegiatan. Informasi tersebut dapat disajikan dalam berbagai format
penyajian, tergantung dari bentuk dan jenis SOP yang diinginkan. Dalam dokumen SOP biasanya
meliputi informasi berikut.
1. Tujuan dari penulisan prosedur pelaksanaan kegiatan tersebut;
2. Nama unit kerja yang secara struktural atau fungsional bertanggung jawab dalam pelaksanaan
kegiatan;
3. Latar belakang singkat tentang alasan prosedur kegiatan tersebut;
4. Lingkup prosedur kegiatan berupa urutan langkah kegiatan;
5. Penanggung jawab atau unit kerja yang bertanggung jawab sebagai pelaksana setiap langkah
pelaksanaan;
6. Urutan setiap langkah pelaksanaan dari awal sampai akhir. Urutan kegiatan harus menguraikan
juga oleh siapa, kapan, dan bagaimana prosedur itu dilaksanakan;
7. Apabila diperlukan, setiap SOP perlu mencantumkan referensi yang berkaitan dengan prosedur
kegiatan tersebut;
8. Nama penulis dan jabatannya serta tanda tangan;
9. Nama supervisor dan jabatannya, serta tanda tangan;
10. Nama pejabat yang berwenang mengesahkan SOP dan jabatannya, serta tanda tangan;
11. Tanggal penulisan SOP dan kronologis revisinya;
Semua cakupan informasi dalam dokumen SOP tersebut disajikan dalam berbagai format yang sesuai
dengan kriteria SOP kegiatan yang bersangkutan. Desain format akan diuraikan dalam Bab III tentang
Teknik Penulisan SOP.
CONTOH
STANDARD OPERATING PROSEDUR (SOP)
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PRA JABATAN TENAGA EDUKATIF
1. Tujuan
STANDARD OPERATING PROSEDUR (SOP) Diklat Pra Jabatan tenaga edukatif
bertujuan untuk menyeragamkan prosedur pengurusan diklat prajabatan tenaga edukatif
2. Pengertian
Yang dimaksud dengan cuti pendidikan dan pelatihan tenaga edukatif adalah suatu
kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi calon pegawai negeri sipil di lingkungan tenaga edukatif
untuk mendapatkan bekal dalam mengajar, mengembangkan kemampuan, keterampilan, dan
sikap setelah yang bersangkutan melaksanakan tugasnya selama lebih dari satu tahun
3. Ketentuan
a. Peraturan Pemerintah Ni. 101 tahun 2000
b. Keputusan Presiden No. 30 Tahun 1981
4. Prosedur
a. Menerima Pemberitahuan Diklat Pra Jabatan dari DIKNAS
b. Disposisi untuk ditindak lanjuti untuk pelaksanaan Pra Jabatan
c. Pendataan calon peserta diklat Pra Jabatan tenaga edukatif
d. Pengiriman format Pra Jabatan kepada calon peserta
e. Menerima formulir dari peserta Pra Jabatan
f. Meneliti berkas dan konsep Surat ke DIKNAS
g. Penelitian berkas dan surat ke DIKNAS
h. Penandatangan surat dan berkas
i. Menerima berkas dan disposisi untuk ditindaklanjuti
j. Menindaklanjuti disposisi Kepala BAUK
k. Mengirim berkas peserta Diklat Pra Jabatan
l. Menerima Berkas dan menerbitkan surat pemberitahuan pelaksanaan diklat Pra Jabatan
m. Menerima surat pemberitahuan pelaksanaan Diklat Pra Jabatan
n. Disposisi untuk ditindaklanjuti
o. Menindaklanjuti disposisi Kepala BAUK
p. Menindaklanjuti disposisi Kabag. Kepegawaian
q. Mengirimkan surat panggilan peserta diklat dan mengarsipkan berkas-berkas peserta Pra
Jabatan
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN MODEL EVALUASI DAN MONITORING
DIKLAT
1. CIPP (Context, Input, Process, Product)
Kelebihan komprehensif diantara model evaluasi lainnya, karena objek evaluasi tidak
hanya pada hasil semata tetapi juga mencakup konteks, masukan, proses, dan hasil. Selain
kelebihan tersebut, di satu sisi model evaluasi ini juga memiliki keterbatasan, antara lain
penerapan model ini dalam bidang program pembelajaran dikelas mempunyai tingkat
keterlaksanaan yang kurang tinggi jika tidak adanya modifikasi.
Keunggulan:
1. Menekankan evaluasi yang komprehensif dengan langkah-langkah evaluasi yang
sistematis dan berorientasi pada pembuatan keputusan
2. Sesuai utk tinda-kan evaluasi pada berbagai skala (proyek, program, organisasi)
3. Pengorganisasian jaringan, bukan lockstep linear process (baku).
4. Sensitip terhadap kebutuhan pem-buat keputusan
5. Diperluas meliputi sesuatu selain hanya evaluasi sasaran.
6. Menjawab banyak permintaan baru untuk evaluasi, dan dibuktikan bermanfaat untuk
proyek-proyek atau program-program dengan lingkup besar dan multi-level organisasi.
7. Cocok dengan minat akan teori-sistem; dimana sangat rasional dan sistemik dalam
pendekatannya.
8. Terbukti dapat dilaksanakan dengan baik, tersedia petunjuk hampir di t iap-tiap aplikasi
(terperinci).
9. Memiliki potensi untuk bergerak di wilayah evaluasi formative dan summative. Sehingga
sama baiknya dalam membantu mela-kukan perbaikan selama program berjalan, maupun
memberikan informasi final.
Kelemahan
1. Kesannya terlalu top down dengan sifat manajerial dlm pendekatan-nya.
2. Kesulitan pada model ini meliputi fakta bahwa tujuan formal mungkin akan kurang
penting dibanding-kan dengan tujuan sekunder atau bahkan tujuan laten/ tersembunyi,
ketika situasi berubah.
3. Membuat apa yang mungkin merupakan asumsi yang tak beralasan tentang rasionalitas
pengambil-keputusan, tentang keterbukaan proses pengambilan keputusan, tentang
identifikasi keinginan pengambil-keputusan (dalam organisasi yang kompleks keputusan
organisasi nampak "bubble-up" daripada dibuat dengan tegas).
4. Mengambil satu pandangan utama proses sinoptic proses atas pengambilan keputusan
yang mungkin tidak viable, sementara mengabaikan model keputusan lain
2. EVALUASI MODEL KIRKPATRICK
Kelebihan dan Kekurangan Evaluasi Model Kirkpatrick
Dibandingkan dengan model-model evaluasi yang lain, model Kirkpatrick memiliki beberapa kelebihan
antara lain: 1). lebih komprehensif, karena mencakupaspek kognitif, skill dan afektif; 2). objek evaluasi tidak hanya
hasil belajar semata tetapi juga mencakup proses, output maupun outcomes; 3). lebih mudah diterapkan
(applicable) untuk level kelas karena tidak terlalu banyak melibatkan pihak-pihak lain dalam proses
evaluasi.Selain memiliki kelebihan, model Kirkpatrick juga memiliki beberapaketerbatasan, antara lain: 1). kurang
memperhatikan input, padahal keberhasilanoutput dalam proses pembelajaran juga dipengaruhi oleh input; 2).
untuk mengukur impact sulit dilakukan karena selain sulit tolok ukurnya juga sudahdiluar jangkuan guru
maupun sekola
3. MODEL EVALUASI UCLA
Keunggulan:
1. Merupakan pendekatan proses dimana dalam mengembangkan kriteria evaluasi atas dasar
tradisi naturalistic inquiry à kualitatif
2. Menekankan evaluasi yang komprehensif dengan langkah-langkah evaluasi yang
sistematis.
3. Menyediakan feedbak dalam pengembangan program.
Kelemahan
1. Guru sebagai tolok ukur, keberhasilan diukur menurut guru bukan menurut kurikulumnya
2. Merupakan pendekatan yang paling riil di lapangan tapi paling labil
3. Tugas evaluator lebih berat, harus sensitif & banyak berdialog
4. Evaluator menjadi instrumen hidup sebelum kriteria dan alat evaluasi dikembangkan
5. Tidak bisa secara tegas menunjukkan apakah program sukses atau efektif
4. MODEL EVALUASI BRINKERHOFF
a. Formatif Summatif Evaluation
Keunggulan :
1. Evaluasi formatif digunakan untuk memperbaiki program selama program tersebut
sedang berjalan. Caranya dengan menyediakan balikan tentang seberapa bagus program
tersebut telah berlangsung. Melalui evaluasi formatif ini dapat dideteksi adanya
ketidakefisienan sehingga segera dilakukan revisi.
2. Evaluasi sumatif bertujuan meng-ukur efektifitas keseluruhan program yang bertujuan
untuk membuat keputu-san tentang keberlangsungan program tersebut, yaitu dihentikan
atau dilanjutkan.
Kelemahan:
1. Tidak terdapat langkah-langkah sistematis yang harus dilakukan dalam evaluasi, hanya
menekankan pada obyek sasaran saja.
5. MODEL EVALUASI STAKE ATAU MODEL COUNTENANCE
Keunggulan :
1. Sistematis—simple, masuk akal, rasional.
2. Menggunakan pendekatan ilmiah.
3. Dibedakan konsep pengukuran dan evaluasi.
4. Dilegitimasi tidak hanya dari metoda pengumpulan data konvensional.
5. Yang disajikan satu kurikulum/program, perbaikannya dipusatkan untuk evaluasi.
6. Mudah untuk dipahami dan dilaksanakan meski oleh guru kelas.
Kelemahan
1. Tidak ada pendapat yang konsisten mengenai siapa yang berhak memilih sasaran, atau
sasaran mana yang dipilih
2. Meskipun tujuan dapat didefinisi-kan dari segi pelaksanaan, masalah untuk mendapatkan
hasil pengukuran jauh dari yang diharapkan
3. Tidak semua pelaksana kurikulum setuju tentang perlunya menetapkan tujuan terlebih
dahulu
4. Mengarah pada tidak adanya penilaian tegas/eksplisit paling tidak dalam pemberian
imbalan merasakan.
5. Gagal untuk menyediakan cara mengevaluasi sasaran program.
6. Gagal untuk menyediakan cara memperoleh standard untuk menilai perbedaan kinerja
dan sasaran.
7. Gagal untuk menyediakan cara menilai kekuatan dan kelemahannya.
8. Konvergen-konvergen pada hakekatnya: penutup prematur, kreativitas dimatikan
semangatnya, dikunci pada sasaran sasaran.
9. Fokus di desain pre-post
6. MEASUREMENT MODEL
Keterbatasan Measurement Model
Keterbatasan dari model ini terletak pada penekanannya yang berlebihan pada aspek
pengukuran dalam kegiatan penilaian pendidikan. Konsekuensinya, penilaian cenderung dibatasi
pada dimensi tertentu dari sistem pendidikan yang “dapat diukur”, dalam hal ini adalah hasil
belajar yang bersifat kognitif. Yang menjadi persoalan adalah hasil belajar yang bersifat kognitif
tersebut bukan merupakan satu-satunya indikator bagi keberhasilan kurikulum. Kurikulum
sebagai suatu “alat” untuk mencapai tujuan pendidikan diharapkan dapat mengembangkan
berbagai potensi yang ada pada diri siswa, tidak terbatas hanya pada potensi kognitif saja.
Adanya beberapa ketidakserasian dengan peranan penilaian dalam proses pengembangan
kurikulum/sistem pendidikan berikut ini.
1. Dalam pengembangan alat penilaian, model ini banyak dipengaruhi oleh prosedur yang
ditempuh dalam pengembangan tes psikologis, antara lain tes intelegensi dan tes bakat.
Untuk mengembangkan tes tersebut berlaku ketentuan bahwa soal tes yang memiliki
daya pembeda rendah perlu direvisi atau diganti dengan tes lain, yang mempunyai daya
pembeda tinggi. Prosedur semacam ini kurang cocok untuk diterapkan dalam penilaian
hasil belajar. Hal itu dalam rangka/pengembangan pendidikan karena dalam penilaian
pendidikan yang penting adalah butir soal tes yang dibuat betul-betul konsisten dengan
tujuan pendidikan yang ingin dinilai pencapaiannya.
2. Dalam pengolahan hasil tes, model ini dipengaruhi oleh prosedur pengolahan hasil tes
psikologis, dan nilai yang dicapai oleh masing-masing siswa lebih mencerminkan
“kedudukannya” dalam kelompok. Dalam proses pengembangan pendidikan, nilai
semacam ini kurang mempunyai arti karena sifatnya relatif. Yang lebih berarti dalam
proses pengembangan pendidikan adalah nilai-nilai yang menunjukkan sejauh mana
tujuan-tujuan pendidikan telah dicapai oleh siswa, secara individual maupun kelompok,
bukan nilai relatif yang mencerminkan posisi siswa dalam kelompoknya
3. Informasi yang disajikan menurut model ini lebih berbentuk nilai keseluruhan (total
score) yang dicapai setiap siswa, yang dilengkapi dengan data mengenai nilai rata-rata
dan standar deviasi yang dicapai kelompok. Informasi semacam ini kurang relevan
dengan kebutuhan yang dirasakan dalam proses pengembangan pendidikan karena nilai
keseluruhan lebih banyak “menyembunyikan” daripada mengungkapkan informasi yang
diperlukan untuk kepentingan penyempurnaan sistem. Yang lebih diperlukan dalam
proses pengembangan pendidikan adalah bentuk penyajian hasil tes yang dapat
memberikan petunjuk tentang bagian-bagian mana dari sistem pendidikan yang masih
lemah, dan karenanya memerlukan perbaikan.
Keunggulan Measurement Model
Keunggulan dari model ini adalah sumbangannya yang sangat berarti dalam hal
penekannya terhadap pentingnya objektivitas proses penilaian. Aspek objektivitas yang
ditekankan oleh model ini perlu dijadikan landasan yang terus-menerus dalam rangka
mengembangkan sistem penilaian pendidikan. Di samping itu, evaluasi dalam model ini
memungkinkan untuk melakukan analisis intrumen dan hasil evaluasi secara statistik.
7. CONGRUENCE MODEL
Kontribusi Congruence Model
1. Sumbangan yang cukup berarti dari congruence model adalah sebagai berikut.
Menghubungkan hasil belajar dengan tujuan pendidikan sebagai kriteria perbandingan.
2. Memperkenalkan sistem pengolahan hasil penilaian secara bagian demi bagian, yang
ternyata lebih relevan dengan kebutuhan pengembangan sistem.
Keterbatasan
1. Tidak menjadikan input dan proses pelaksanaan sebagai objek penilaian secara langsung.
2. Dengan model pre da post test informasi yang dihasilkan hanya dapat menjawab
pertanyaan tentang tujuan- tujuan mana yang telah dan belum dicapai. Pertanyaannya,
mengapa tujuan-tujuan tertentu belum dapat dicapai belum dapat dijawab. Pendekatan ini
membantu pengembang kurikulum dalam menentukan bagian-bagian dari sistem yang
masih lemah, tetapi kurang membantu di dalam mencari jawaban tentang segi-segi yang
masih lemah dan kemungkinan mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut.
8. EDUCATIONAL SYSTEM EVALUATION MODEL
Keunggulan Sistem Model
Model ini mengemukan perlunya penilaian dilakukan terhadap berbagai dimensi sistem,
tidak hanya hasil yang dicapai saja, melainkan juga input dan proses yang dilakukan tahap demi
tahap. Hal ini agar penyempurnaan sistem dapat dilakukan pada setiap tahap sehingga kelemahan
yang masih terlihat pada suatu tahap tertentu tidak dibawa ke tahap berikutnya.
9. ILLUMINATIVE MODEL
Keunggulan Illuminative Model
Menekankan pentingnya dilakukan penilaian yang kontinu selama proses pelaksanaan
pendidikan sedang berlangsung. Jarak antara pengumpulan data dan laporan hasil penilaian
cukup pendek sehingga informasi yang dihasilkan dapat digunakan pada waktunya.
Keterbatasan Illuminative Model
Kelemahan terutama terletak pada segi teknis pelaksanaannya yang meliputi:
1. Kegiatan penilaian tidak didahului oleh adanya perumusan kriteria secara eksplisit.
2. Objektivitas penilaian yang dilakukan perlu dipersoalkan.
3. Adanya kecenderungan untuk menggunakan alat penilaian yang “terbuka” dalam arti kurang
spesifik dan berstruktur.
4. Tidak menekankan pentingnya penilaian terhadap program bahan-bahan kurikulum selama
bahan-bahan tersebut disusun dalam tahap perencanaan.
10. MODEL OF EVALUATION KNOWLEDGE & SKILLS DARI MARSHAL & SCHRIVER
Keunggulan:
1. Evaluator tidak perlu memperha-tikan rinci tiap komponen tetapi hanya menekan-kan
pada bagai-mana mengurangi prasangka (bias)
2. Model ini menganggap pengguna sebagai audiens utama. Melalui model ini, Scriven
ingin evaluator mengukur kesan yang didapat dari sesuatu program dibandingkan dengan
kebutu-han pengguna dan tidak membandingkannya dengan matlamat pihak penganjur.
Kelemahan
1. Diperlukan evaluator yang benar-benar kompeten untuk dapat melaksanakan model ini.
2. Gagal untuk menyelesaikan permasalahan dalam bagaimana memperoleh standard,
sebagai permintaan tegas Scriven di awal pada penilaian aspek evaluasi. ".
3. Langkah-langkah sistematis yang harus dilakukan dalam evaluasi, hanya menekankan
pada obyek sasaran saja.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN STANDARD OPERATING PROSEDUR (SOP)
Manfaat (Benefit)
Manfaat (benefit) adalah kegunaan suatu keluaran (outputs) yang dirasakan langsung oleh
masyarakat. Berupa tersedianya fasilitas yang dapat diakses oleh publik. Proses Perencanaan
mengenai hasil (result) dijelaskan dalam penjelasan UU No 25 Tahun 2004 disebutkan di dalam
Penjelasan Umum butir 3.: “Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja
yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan sasaran kinerja mencakup
masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat (benefit) dan dampak (impact).”
Dampak (Impact)
Dampak (Impact) adalah ukuran tingkat pengaruh sosial, ekonomi, lingkungan atau
kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh capaian kinerja setiap indikator dalam suatu
kegiatan”. Dijelaksan di dalam Penjelasan UU No. 25 Tahun 2004 di Bab Umum butir 3, proses
perencanaan mengenai dampak (impact): “Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan
sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan sasaran
kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat (benefit) dan
dampak (impact).”
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar di atas caranya
1. Masukkan Komentar anda di kolom komentar
2. Pada Kotak "Beri Komentar sebagai" pilih akun yang ada pada pilihan.
3. klik publikasikan.
5. isi code capta
6. tekan enter atau publikasikan.
Anda di perbolehkan berkomentar dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. Komentar jangan mengandung SARA dan PORNO
2. Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan.
3. Tidak Boleh SPAM
4. Jangan meninggalkan Link aktif pada komentar. Komentar dengan Link Aktif akan dihapus.
5. Berkomentarlah sesuai dengan topik artikel