POLITIK PENDIDIKAN
|
PENGARUH POLITIK TERHADAP KEBIJAKAN DALAM PENDIDIKAN
|
|
AMRIANI HAMZAH 094304023
|
|
[Type the author name]
|
|
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan segala sesuatu yang
bersamaan dengan pertumbuhan, pendidikan sendiri tidak mempunyai tujuan akhir
di balik dirinya. Definisi singkat ini dapat dipahami bahwa pendidikan
merupakan gejala insani yang fundamental dalam kehidupan manusia untuk
mengantarkan anak manusia ke dalam peradaban yang berbudaya dan beretika .
Usaha ini dapat dilakukan dengan bimbingan yang otentik dan eksistensial
manusiawi agar anak mengenal jatidirinya, dapat bertahan hidup, mampu memiliki
dan melanjutkan warisan sosial generasi terdahulu. Sesuai dengan dinamika sistem
perkembangan peradaban, sistem pendidikan pun selalu dikonsepsikan ulang dan
diinterpretasikan kembali setiap periode historis dan setiap orde politik
tertentu. Hal ini juga berlaku pada anak didik, sehingga gerak, aliran,
perubahan dan renovasi yang menjadi dimensi pokok pendidikan juga menuntut agar
sistem pendidikan mampu beradaptasi terhadap kondisi zaman dengan keadaan
politiknya. Maka menjadi sangat urgen untuk memahami pendidikan sebagai faktor
politik untuk menstabilkan dan membangun Negara
Indonesia
baru yang dicita-citakan banyak orang adalah masyarakat baru yang disebut civil
society. Hal ini berarti kekuasaan berada di tangan rakyat, ditentukan oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Rakyat tidak lagi menjadi objek, tetapi sebagai
subjek pelaku kekuasaan. Masyarakat madani hanya dapat terwujud jika masyarakat
memperoleh pendidikan yang memadai sehingga masyarakat dapat memahami perannya
dalam proses perubahan sosial secara kreatif-konstruktif untuk mencari bentuk
sintetik baru secara tulus, damai sekaligus mencerahkan. Oleh karena itu,
pemerintah seharusnya dapat meningkatkan komitmennya untuk menciptakan
pemerintahan yang bersih, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan berpihak
pada proses pemberdayaan rakyat dengan memprioritaskan bidang pendidikan.
Kesejahteraan rakyat seharusnya diartikan dengan semakin meningkatnya kualitas
SDM yang terdidik agar mampu meningkatkan penghasilannya secara benar, mandiri
dan kreatif. Ukuran kesejahteraan rakyat harus menyertakan indikator menguatnya
etika sosial, kualitas partisipasi rakyat dalam politik, kreativitas budaya dan
komitmen moralitas keagamaan dan kemanusiaan universal, tidak semata-mata
menggunakan indikator ekonomi.
Terkait
dengan politik, ada anggapan negatif, skeptik dan sinis warga sehingga ada kecenderungan
menghindari politik. Namun perlu dicatat beberapa hal: pertama, kita tidak
dapat lepas dari politik, semua kegiatan mengandaikan kerangka negara dan
masyarakat merupakan aktivitas politik. Kedua, berbagai kesulitan yang dihadapi
seperti peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, kesenjangan
sosial-ekonomi, pendidikan dan pengembangan IPTEK tidak dapat dipecahkan tanpa
politik, tetapi dengan transformasi politik sedemikian rupa sehingga
memungkinkan membentuk dan mengorganisir kehidupan secara efektif. Ketiga,
sikap sinis dan skeptik terhadap politik dapat dihindari dengan membangun
kredibilitas, kelayakan model alternatif dan imaginatif institusi politik.
Oleh
karena itu, pendidikan sebagai salah satu faktor penentu dan indikator kemajuan
suatu bangsa hendaknya menjadi tujuan pembangunan. Melalui pendidikan (politik)
diharapkan para pelaku politik bisa lebih memahami posisi sekaligus tugas dan
tanggung jawab yang diemban bagi kesejahteraan rakyat, dalam kondisi politik
yang dinamis dan mendukung. Sehingga setiap orang yang berkecimpung di dunia
politik menyadari hakikat berpolitik, dengan mengembangkan budaya dan etika
politik yang bersih dan profesional. Pendidikan yang dimaksud meliputi segala
aspek yang dapat memberikan pemahaman baru mengenai apa, untuk apa, bagi siapa
sesuatu (kekuasaan) harus dicapai dan di pertahankan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Politik “Pendidikan”
Banyak
pihak yang melihat pendidikan sebagai faktor dan kekuatan politik. Karena,
pendidikan dan sekolah merupakan pencerminan dari kekuatan sosial politik yang
tengah berkuasa, dan refleksi dari orde penguasa yang ada. Di samping itu
pendidikan berlangsung dalam konteks politik dengan pengembangan sistem
pendidikan yang dimasukkan ke dalam kerangka kebulatan kehidupan bangsa,
ketahanan nasional dan politik NKRI. Lebih jauh lagi menyangkut policy,
perencanaan, atribut edukasi, pelaksanaan, tujuan pendidikan, relasi struktural
dengan lembaga non-edulatif lain, pembiayaan dan manajemen pendidikan, semuanya
diputuskan berdasarkan konsensus dan keputusan politik pemerintah yang bersifat
¬non-edukatif. Contoh konkritnya adalah tujuan pendidikan yang intinya
merupakan penjabaran dari filsafat negara dan tujuan politik negara RI yang
hakekatnya merupakan realisasi keinginan dan keputusan para pemimpin yang
berkuasa.
Kondisi
politik Indonesia dewasa ini dinilai masih dalam tataran belajar, terlebih bila
dikaitkan dengan dunia pendidikan. Di satu sisi dunia pendidikan dikatakan
sebagai faktor dan kekuatan politik, namun di sisi lain pelaku pendidikan
dipatok untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Sehingga, dengan demikian
pendidik dan dunia pendidikan secara umum cenderung dijadikan objek politisasi.
Sementara anak negeri hampir hampa dengan pendidikan politik, padahal mereka
perlu belajar dan sekaligus memahami berbagai persoalan yang dihadapi bangsa
dan negerinya. Kenyataannya dalam usia 64 tahun kemerdekaan Indonesia, dunia
pendidikan masih terpasung kepentingan politik praktis dan ambiguitas
kekuasaan. Padahal, politik dan kekuasaan suatu negara memegang kunci
keberhasilan pendidikan. Dalam konteks pembangunan demokratisasi dan
desentralisasi di Indonesia, peran politik eksekutif dan legislatif untuk
memajukan pendidikan begitu besar. Ranah politik dan kekuasaan harus mampu
mewujudkan sistem pendidikan yang mencerdaskan dan mencerahkan peradaban bangsa
ini.
Paulo
Freire pernah menegaskan bahwa bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan
arah pembinaan dan pembangunan pendidikan. Freire memandang politik pendidikan
memiliki nilai penting untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara. Bangsa
yang politik pendidikannya buruk, maka kinerja pendidikannya pun pasti buruk.
Sebaliknya, negara yang politik pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun
juga akan bagus.
Sampai saat ini, realitas politik pendidikan Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka. Hal ini bisa dilihat dari komitmen pemerintah yang masih rendah dalam mewujudkan akses dan pemerataan pendidikan dasar yang bebas biaya, belum terpenuhinya anggaran pendidikan sebesar 20%, kurangnya penghargaan terhadap profesionalisme dan kesejahteraan guru, rendahnya mutu dan daya saing pendidikan, upaya otonomi pendidikan yang masih setengah hati, dan sebagainya. Padahal pemerintah sebetulnya telah menetapkan Renstra Pendidikan tahun 2010–2014 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatkan perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan dan meningkatkan tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik.
Sampai saat ini, realitas politik pendidikan Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka. Hal ini bisa dilihat dari komitmen pemerintah yang masih rendah dalam mewujudkan akses dan pemerataan pendidikan dasar yang bebas biaya, belum terpenuhinya anggaran pendidikan sebesar 20%, kurangnya penghargaan terhadap profesionalisme dan kesejahteraan guru, rendahnya mutu dan daya saing pendidikan, upaya otonomi pendidikan yang masih setengah hati, dan sebagainya. Padahal pemerintah sebetulnya telah menetapkan Renstra Pendidikan tahun 2010–2014 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatkan perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan dan meningkatkan tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik.
Pada
saat yang sama, kesenjangan partisipasi pendidikan juga masih terjadi, terutama
antara penduduk miskin dan penduduk kaya. Meski pemerintah telah menyediakan
dana BOS, masih ditemukan beberapa sekolah yang masih menarik berbagai iuran,
sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan
partisipasi pendidikan tersebut terlihat makin mencolok pada jenjang pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi. Data 2008 menunjukkan bahwa APM SD/MI mencapai
95%, SMP/MTs sebesar 71,83%. Sementara itu, APK SMA/MA/SMK sebesar 55,22%, dan
APK pendidikan tinggi hanya mencapai 16,70%. Sedangkan angka putus sekolah
tingkat SD mencapai 2,97%, SMP 2,42%, SMA 3,06%, dan PT 5,9%. Kondisi ini
diperparah dengan masih tingginya jumlah warga negara yang buta huruf, tercatat
bahwa dari total penduduk sebanyak 211.063.000 jiwa, yang masih buta huruf pada
usia 15 tahun ke atas berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki 5,8%
dan perempuan 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan 4,9%, dan pedesaan 12,2%.
Keadaan
tersebut memberi gambaran mengenai realitas politik pendidikan di Indonesia
yang belum merdeka dan tertinggal dari tuntutan daya saing global. Politik
pendidikan kita belum mampu memberikan harapan konkrit atas kemajuan bangsa di
masa depan. Karenanya perlu dilakukan penilaian ulang, revisi, pembaharuan dan
penyempurnaan sistem pendidikan nasional, agar pendidikan lebih relevan dan
lebih fungsional dengan tuntutan zaman. Untuk itu diperlukan good will politik,
kebijakan dan praktek politik oleh pemerintah untuk mendukung pelaksanaannya.
Dan akhirnya untuk menjabarkan filsafat Pancasila, filsafat pendidikan dan
pelaksanaan pendidikan nasional ke dalam perilaku sosial dan perilaku edukatif
yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah, jelas diperlukan
kemauan politik, keputusan politik dan perbuatan politik secara konkrit. Untuk
melaksanakan hal tersebut dibutuhkan politisi yang memahami urgensi politik
bagi pendidikan dan politisi handal ini hanya mungkin didapat dari mereka yang
pernah mengenyam pendidikan politik secara maksimal.
B. Pendidikan Politik
Pendidikan
Politik, merupakan salah satu fungsi input sistem politik yang berlaku di
negara manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter,
diktator dan sebagainya. Pendidikan politik, merupakan proses pembentukan sikap
dan orientasi politik pada warganegara dimana keterlaksanaannya sangat
ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi dan kebudayaan di mana individu
berada, selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman serta kepribadian
seseorang. Disisi lain kegiatan ini juga dipandang sebagai proses yang
ber¬langsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di
antara kepribadian individu dengan pengalaman politik yang relevan yang memberi
bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai dan sikap yang
diperoleh seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu
menerima rangsangan politik yang akan menentukan bentuk etika politik seseorang
yang berkembang berangsur-angsur.
Jadi,
pendidikan politik adalah proses dengan mana individu dapat memperoleh
pengetahuan, nilai dan sikap terhadap sistem politik masyarakat. Namun,
peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun
hal ini mungkin bisa terjadi, sebab bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap
legitimasi. Tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan,
tergantung keadaan yang menyebabkan pengingkaran. Apabila tidak ada legitimasi
disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politik, maka
perubahan mungkin terjadi. Sebaliknya, jika legitimasi dibarengi dengan sikap
apatis terhadap sistem politik, bukan tak mungkin menghasilkan stagnasi. Dengan
demikian keberadaan pendidikan politik menjadi sangat urgen, karena (1) secara
fundamental merupakan proses hasil belajar; (2) memberikan indikasi hasil
belajar tingkah laku individu dan kelompok yang berkenaan dengan pengetahuan,
informasi, nilai dan sikap; (3) dapat dilakukan sepanjang hidup; dan (4)
merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial yang secara implisit
dan eksplisit memberikan penjelasan tingkah laku sosial.
Perkembangan
sosiologi politik pada dasarnya diawali pada masa kanak-kanak. Di AS, belajar
politik dimulai usia 3 tahun dan menjadi mantap pada usia 7 tahun. Tahap lebih
awal dari belajar politik mencakup perkembangan dari ikatan lingkungan, seperti
keterikatan pada sekolah dan berdiam di daerah tertentu, dengan demikian
diharapkan mereka mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinya, kebaikan
serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol otoritas umum,
seperti polisi, presiden dan bendera nasional. Usia 9 dan 10 tahun timbul
kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara, demokrasi,
kebebasan sipil dan peran warganegara dalam sistem politik. Untuk mewujudkan
pendidikan politik tersebut sedikitnya terdapat empat tahap yaitu (1)
pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden
dan polisi; (2) perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan ekternal,
yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah; (3) pengenalan mengenai
institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung,
dan pemilu; dan (4) perkembangan pembedaan antara institusi politik dan mereka
yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi ini.
Tahapan
pendidikan politik tersebut dapat dilakukan melalui keluarga, sekolah dan
partai politik. Masalahnya adalah sosiologi politik dalam masyarakat berkembang
dan berubah dengan cepat. Sifat pendidikan politik yang bervariasi menurut
waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang memberinya
kontribusi, berkaitan dengan sifat pemerintahan dan derajat serta sifat
perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi utama
dari pendidikan politik. Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan, semakin
tersebarlah agensi utama dari pendidikan politik.
Dalam
realitas kehidupan, pola pendidikan politik juga mengalami perubahan seperti
berubahnya struktur dan kultur politik. Perubahan tersebut menyangkut perbedaan
tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat yang
beraneka ragam. Sehingga dikatakan bahwa pendidikan politik bisa bersifat
manifes dan laten. Pendidikan politik yang bersifat manifes berlangsung dalam
bentuk transmisi informasi, nilai atau perasaan terhadap peran, input dan
output mengenai sistem politik. Sedangkan, pendidikan politik laten berlangsung
dalam bentuk transmisi informasi, nilai atau perasaan terhadap peran, input dan
output mengenai sistem sosial yang lain seperti keluarga.
Membangun
sebuah kultur demokratis dari pola pendidikan politik yang diterapkan dapat
dilakukan dengan menggelar strategi kebudayaan. Konkretnya, membangun sistem
pendidikan politik yang menjadikan prinsip kemandirian dan nalar publik sebagai
pijakan konseptual, fokus pada penciptaan individu yang otonom dan kritis dalam
daya pertimbangan. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan konsep pendidikan
dengan menekankan pada proses learning to know, learing to do, learning to be
and learning to live together. Menerapkan empat pilar tersebut dalam proses
pendidikan politik berarti memungkinkan peserta didik dapat menguasai cara
memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang
dipelajarinya, berkesempatan berinteraksi secara aktif dengan sesama sehingga
dapat menemukan dirinya. Proses strategi pedagogis ini tentu membidik target
jangka panjang yang menentukan cerah-tidaknya masa depan demokrasi di negeri ini.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa peran pendidikan politik sangat diharapkan untuk
membentuk karakter dan mental generasi muda untuk dapat melakukan transformasi
budaya dalam upaya membina sistem dan kondisi politik yang kondusif. Suatu
tuntutan yang pada hakekatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik
Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan
nasional, dengan mengedepankan budaya dan etika politik yang patut dibanggakan.
C. Pengaruh Politik Terhadap
Kebijakan Pendidikan
Berkaca
dari penyelenggaraan kampanye pemilu dan koalisi parpol, menunjukkan bahwa ada
yang salah dalam peran yang dimainkan parpol dalam pendidikan politik. Fakta
lebih menunjukkan bahwa sebagian parpol belum mampu melaksanakan fungsi dan
perannya. Kebanyakan parpol belum memperjuangkan kepentingan konstituen tetapi
lebih sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompok elite partai. Pada masa
kampanye, parpol sibuk dengan aktivitas yang berorientasi pada penguatan citra
dan sosialisasi untuk menarik massa. Pidato juru kampanye tak jarang
meneriakkan janji-janji manis yang kadang sulit diterima akal sehat, namun
disuarakan dengan lantang.
Hiruk
pikuk dalam koalisi parpol dalam pemilu 2009 menunjukkan bahwa para elit tidak
sedikitpun melibatkan rakyat pemilih ( konstituen), apalagi memikirkan program
untuk rakyat. Padahal konstituen sebelumnya telah berpartisipasi menggunakan
hak pilihnya untuk perolehan suara parpol. Pembicaraan mengenai parpol
menjelang pemilu presiden bahkan tidak berdasarkan platform, agenda
pemerintahan, serta ideologi yang semestinya menjadi tuntutan dasar.
Implikasinya adalah pragmatisme yang tertanam kuat di benak konstituen, dan
dikhawatirkan masyarakat akan ikut berperilaku pragmatis dalam memilih. Koalisi
hanya mengarah pada persoalan pembagian kekuasaan ( sharing of power) dan
jabatan. Padahal harus ada visi dan program membangun bangsa keluar dari
permasalahan dan meletakkan dasar supaya Indonesia lebih maju sesuai RPJPN.
Karena berubahnya sistem politik nasional dan tidak adanya Garis-Garis Besar
Haluan Negara yang mengikat seperti dulu, tidak lantas berarti bahwa bangsa
Indonesia tidak peduli dengan visi maupun rencana jangka panjang. Mestinya
setiap elit politik harus menjadikan RJPJN sebagai pedoman perumusan visi misi
serta program capres dan cawapres yang akan diusung oleh koalisi parpol.
Parpol
juga harus melakukan pendidikan politik bagi kader-kadernya yang akan
diantarkan menjadi pejabat publik atau wakil rakyat. Namun dalam realitas, para
elit politik tidak kelihatan memberi contoh yang dapat menjadi pendidikan
politik bagi masyarakat luas. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku para
elit politik yang tidak menunjukkan cara berpikir jernih, sikap dan tingkah
laku yang matang dan dewasa secara mental, kultural dan intelektual, dan taat
pada hukum serta berbagai peraturan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kondisi
real politik dan politik pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya merdeka dan
tertinggal dari tuntutan daya saing global, belum mampu memberikan harapan
konkrit atas kemajuan bangsa di masa depan.
Pendidikan
politik diharapkan mampu membentuk karakter dan mental generasi muda agar dapat
melakukan transformasi budaya dalam upaya membina sistem dan kondisi politik
yang kondusif dengan mengedepankan budaya dan etika politik yang patut
dibanggakan.
Perlu
dilakukan penilaian ulang, revisi, pembaharuan dan penyempurnaan sistem
pendidikan nasional, agar pendidikan lebih relevan dan lebih fungsional dengan
tuntutan zaman.
Mengembangkan
pendidikan yang tidak hanya menjadi banking-process, namun menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia, humanis, tidak antirealitas, mengutamakan proses, penyelarasan
hak dan tanggungjawab.
Melaksanakan
kembali pendidikan budi pekerti yang merupakan pondasi bagi pelaksanaan civic
education agar tercipta generasi yang tidak hanya mau menjadi politisi namun
paham budaya dan etika politik.
Pengertian
pendidikan politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan
menumbuhkan orientasi politik pada individu, meliputi keyakinan konsep yang
memiliki muatan politis, loyalitas dan perasaan politik, serta pengetahuan dan
wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki kesadaran terhadap persoalan
politik dan sikap politik.
Pendidikan
politik dalam masyarakat manapun harus memiliki institusi dan perangkat yang
menopangnya. Yang paling mendasar adalah keluarga, institusi pendidikan, partai
politik, pers dan masyarakat luas
Parpol
harus melakukan pendidikan politik bagi kader-kadernya yang akan diantarkan
menjadi pejabat publik atau wakil rakyat. Namun dalam realitas, para elit
politik tidak kelihatan memberi contoh yang dapat menjadi pendidikan politik
bagi masyarakat luas. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku para elit
politik yang tidak menunjukkan cara berpikir jernih, sikap dan tingkah laku
yang matang dan dewasa secara mental, kultural dan intelektual, dan taat pada
hukum serta berbagai peraturan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar di atas caranya
1. Masukkan Komentar anda di kolom komentar
2. Pada Kotak "Beri Komentar sebagai" pilih akun yang ada pada pilihan.
3. klik publikasikan.
5. isi code capta
6. tekan enter atau publikasikan.
Anda di perbolehkan berkomentar dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. Komentar jangan mengandung SARA dan PORNO
2. Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan.
3. Tidak Boleh SPAM
4. Jangan meninggalkan Link aktif pada komentar. Komentar dengan Link Aktif akan dihapus.
5. Berkomentarlah sesuai dengan topik artikel